Pesantren merupakan institusi pendidikan yang memiliki peran sentral dalam pembentukan karakter, akhlak, dan ilmu bagi generasi muda umat Islam di Indonesia.
Selain mengajarkan ilmu agama secara mendalam, pesantren juga membentuk pribadi santri yang memiliki jiwa pengabdian dan keteladanan. Salah satu tradisi yang telah lama melekat dan dianggap bagian dari proses pendewasaan santri adalah abdi ndalem — yakni pengabdian santri kepada kiai dan keluarganya, yang diwujudkan dalam bentuk membantu berbagai kebutuhan sehari-hari.

Secara historis, tradisi abdi ndalem bukan semata-mata tentang pelayanan fisik, tetapi lebih sebagai latihan spiritual dan pembelajaran adab yang mendalam.
Dalam berbagai kisah, para ulama besar yang lahir dari pesantren seringkali melalui proses ini sebagai bagian dari tirakat dan kesabaran. Mereka belajar melayani dengan hati, menumbuhkan kesabaran, dan membiasakan diri dengan disiplin serta rasa hormat yang tulus. Dengan cara ini, santri tidak hanya memperoleh ilmu pengetahuan, tetapi juga dididik untuk menjadi pribadi yang rendah hati dan ikhlas.
Namun, jika kita amati perkembangan pesantren di era modern ini, tradisi abdi ndalem kadang mengalami pergeseran makna yang cukup mengkhawatirkan. Di beberapa pesantren, praktik pengabdian tersebut berpotensi berubah menjadi bentuk “feodalisme spiritual” yang mengekang kebebasan dan kemerdekaan santri. Posisi kiai, yang memang harus dihormati dan dijadikan panutan, kerap kali dibentuk sebagai sosok yang absolut dan tidak boleh dipertanyakan. Santri diharapkan untuk tunduk tanpa batas, bahkan dalam hal-hal yang menyangkut urusan domestik ndalem, yang seringkali menyita banyak waktu dan tenaga.
Ketika pengabdian fisik tersebut menjadi prioritas utama, yang berimbas pada minimnya ruang dan kesempatan santri untuk belajar dan mengembangkan potensi intelektualnya, maka tradisi mulia ini perlu kita tinjau ulang. Sebab, apabila santri lebih banyak mengurus hal-hal rutin dan kurang mendapat waktu untuk membaca, menulis, berdiskusi, atau mengasah kemampuan berpikir kritisnya, maka mereka akan mengalami kemunduran dalam aspek pendidikan dan pengembangan diri.
Dalam konteks ini, kita perlu waspada terhadap fenomena yang mirip dengan sistem feodal di luar pesantren—di mana terjadi kesenjangan kekuasaan yang timpang dan pembentukan hierarki sosial yang tidak sehat. Feodalisme dalam pesantren ini bukan hanya menghambat proses pembelajaran, tetapi juga berpotensi mencederai hakikat pesantren sebagai lembaga pendidikan yang seharusnya memberdayakan santri menjadi pribadi yang mandiri, kritis, dan berakhlak mulia.
Sebagai institusi pendidikan berbasis agama, pesantren harus mengedepankan prinsip bahwa kiai bukanlah raja yang mutlak berkuasa, melainkan guru dan pembimbing yang memfasilitasi tumbuhnya pengetahuan dan keimanan santri. Kiai harus mampu membimbing dengan kasih sayang, mendorong santri untuk berpikir, bertanya, dan berdiskusi secara sehat. Santri pun harus diperlakukan sebagai manusia utuh yang memiliki hak untuk berkembang, bukan sekadar pengabdi yang menjalankan perintah tanpa ruang untuk dialog.
Pengabdian sejati dalam pesantren seharusnya menjadi proses yang saling menguatkan dan membebaskan, bukan yang membelenggu dan mengekang.
Dalam perspektif Islam, pengabdian adalah ibadah yang menuntut keikhlasan, kesabaran, dan ketulusan hati. Namun pengabdian yang ikhlas tidak pernah menghilangkan hak dan kemerdekaan individu untuk tumbuh secara intelektual dan spiritual.
Mengabdi dalam tradisi pesantren haruslah bermakna sebagai latihan untuk menumbuhkan adab, memperkuat iman, dan membangun karakter. Tetapi ketika praktik pengabdian berubah menjadi pembebanan yang membuat santri kehilangan kesempatan untuk belajar dan bertumbuh, maka itu harus segera diperbaiki. Santri perlu diberi ruang yang cukup untuk mengembangkan potensi, berkreasi, dan mengeksplorasi ilmu pengetahuan. Begitu pula kiai perlu membangun komunikasi yang terbuka dan menghargai masukan dari santri.
Kesadaran ini penting agar pesantren tetap menjadi lembaga pendidikan yang dinamis, tidak stagnan, dan mampu melahirkan generasi umat yang tidak hanya taat secara ritual, tetapi juga cerdas, kritis, dan mandiri. Dengan begitu, tradisi abdi ndalem akan tetap lestari dalam makna yang sebenarnya—sebagai bentuk pengabdian yang mulia dan bukan perbudakan terselubung.
Selain itu, perubahan pola pengabdian ini juga akan mendukung perkembangan pesantren di era modern yang menuntut keterbukaan, inovasi, dan profesionalisme. Santri yang diberdayakan akan mampu membawa perubahan positif tidak hanya di lingkungan pesantren, tetapi juga di masyarakat luas.
Sebagai penutup, mari kita rawat tradisi pengabdian dalam pesantren dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab. Kita jaga agar pengabdian itu menjadi ladang ibadah yang membebaskan dan membangun, bukan jeruji yang membelenggu dan mereduksi jiwa santri. Kiai dan santri harus berjalan bersama dalam harmoni, saling menguatkan untuk menciptakan pesantren yang benar-benar menjadi pusat ilmu, akhlak, dan kebebasan.
Karena pada akhirnya, pesantren yang sejati adalah tempat di mana ilmu dan pengabdian bertemu, saling melengkapi, dan menghasilkan manusia-manusia yang bukan sekadar patuh, tetapi juga berilmu dan berkarakter kuat.