Abdi Ndalem Pesantren, Feodalisme Bukan?

128 views

Pesantren merupakan institusi pendidikan yang memiliki peran sentral dalam pembentukan karakter, akhlak, dan ilmu bagi generasi muda umat Islam di Indonesia.

Selain mengajarkan ilmu agama secara mendalam, pesantren juga membentuk pribadi santri yang memiliki jiwa pengabdian dan keteladanan. Salah satu tradisi yang telah lama melekat dan dianggap bagian dari proses pendewasaan santri adalah abdi ndalem — yakni pengabdian santri kepada kiai dan keluarganya, yang diwujudkan dalam bentuk membantu berbagai kebutuhan sehari-hari.

Advertisements

Secara historis, tradisi abdi ndalem bukan semata-mata tentang pelayanan fisik, tetapi lebih sebagai latihan spiritual dan pembelajaran adab yang mendalam.

Dalam berbagai kisah, para ulama besar yang lahir dari pesantren seringkali melalui proses ini sebagai bagian dari tirakat dan kesabaran. Mereka belajar melayani dengan hati, menumbuhkan kesabaran, dan membiasakan diri dengan disiplin serta rasa hormat yang tulus. Dengan cara ini, santri tidak hanya memperoleh ilmu pengetahuan, tetapi juga dididik untuk menjadi pribadi yang rendah hati dan ikhlas.

Namun, jika kita amati perkembangan pesantren di era modern ini, tradisi abdi ndalem kadang mengalami pergeseran makna yang cukup mengkhawatirkan. Di beberapa pesantren, praktik pengabdian tersebut berpotensi berubah menjadi bentuk “feodalisme spiritual” yang mengekang kebebasan dan kemerdekaan santri. Posisi kiai, yang memang harus dihormati dan dijadikan panutan, kerap kali dibentuk sebagai sosok yang absolut dan tidak boleh dipertanyakan. Santri diharapkan untuk tunduk tanpa batas, bahkan dalam hal-hal yang menyangkut urusan domestik ndalem, yang seringkali menyita banyak waktu dan tenaga.

Ketika pengabdian fisik tersebut menjadi prioritas utama, yang berimbas pada minimnya ruang dan kesempatan santri untuk belajar dan mengembangkan potensi intelektualnya, maka tradisi mulia ini perlu kita tinjau ulang. Sebab, apabila santri lebih banyak mengurus hal-hal rutin dan kurang mendapat waktu untuk membaca, menulis, berdiskusi, atau mengasah kemampuan berpikir kritisnya, maka mereka akan mengalami kemunduran dalam aspek pendidikan dan pengembangan diri.

Halaman: First 1 2 3 Next → Last Show All

Tinggalkan Balasan