Imajinasi Arsitektur Masjid Perumahan

1,679 kali dibaca

“Kenapa bangunan masjid sekarang lebih kearab-araban, meski lingkungan sekitarnya perumahan modern? Apa yang diimajinasikan umat Islam atas arsitektur ibadahnya?” pertanyaan ini terbesit ketika saya salat di masjid di salah satu kompleks perumahan di Tebet, Jakarta.

Saya tinggal di Bekasi, dibesarkan di Desa Ciwaringin, Kabupaten Cirebon, dan berkuliah di Yogyakarta. Tiga kota ini memiliki profilnya masing-masing yang dapat menjelaskan kenapa arsitektur masijid dapat berbeda satu daerah dan yang lainnya. Tetapi, karena keterbatasan ruang, hanya masjid di Bekasi dan di Cirebon saja yang akan dibahas.

Advertisements

Di Bekasi, saya tinggal di perumahan di kotamadya. Berbeda dengan Cirebon dan Yogyakarta, Bekasi adalah kota ‘gelembung’. Artinya, secara sosiologis tersekat oleh gelembung-gelembung perumahan, yang di sudut-sudutnya menyisakan apa yang disebut sebagai ‘kampung kota’. Pembagian antara perumahan dan kampung kota tidak hanya memuat klasifikasi ekonomi (kelas menengah-atas dan kelas bawah) dan etnisitas (antara pendatang dan pribumi Betawi), melainkan juga memuat klasifikasi imajinasi arsitektur masjid.

Masjid kampung biasanya menggunakan desain klasik ala surau lawas. Bentuknya kotak, dan atapnya berbentuk limas bersusun. Kadang, sebagian masjid kampung juga memiliki menara. Mungkin hanya masjid yang baru-baru ini dibangun mulai menggunakan kubah.

Di kawasan perumahan, setidaknya ada tiga jenis arsitektur masjid yang populer digunakan: Timur Tengah, Barok (Baroque), dan modern-minimalis. Di antara tiga jenis arsitektur tersebut, gaya Timur Tengah adalah yang paling mudah ditemukan. Kalau Anda sempat berjalan-jalan di kawasan urban Jabodetabek, dan menginap di rumah teman yang tinggal di perumahan, tengoklah masjid kompleksnya.

Di situ, biasanya akan terlihat pintu ala Masjid Umar bin Khattab di Saudi Arabia, ornamen lampu ala Masjid Haram, ornamen geometrik ala Iran, lampu kristal ala Eropa, dan gypsum bergaya Barok. Unsur barok memang sering kali membaur bersama unsur Timur Tengah. Sulit untuk menemukan masjid yang mengadopsi gaya arsitektur barok sepenuhnya. Penyebabnya mungkin karena kekhawatiran menyerupai gereja bila masjid menggunakan arsitektur barok sepenuhnya.

Adapun gaya modern-minimalis, biasanya diterapkan karena dua kemungkinan sebab. Pertama, karena merupakan ‘paket desain’ dari developer perumahan. Atau yang kedua, karena ingin mencocokkan arsitektur masjid dengan lingkungan sekitar. Alasan yang kedua biasanya terjadi jika masjid yang hendak dibangun berada dekat dengan pusat perbelanjaan yang umumnya memiliki fasad modern-minimalis.

Apa yang terjadi di Bekasi, jelas berbeda dengan yang terjadi di Cirebon. Sebagai eks-kota kosmopolit yang memuat dinamika etnis (Arab, Cina, Pribumi), mudah untuk menemukan masjid dengan arsitektur sinkretis di Cirebon. Unsur Tionghoa, Arab, Hindu, dan bahkan Indie (kolonial) kadang saling bercampur. Di kota Cirebon, kombinasi antara Tionghoa, Arab, dan Hindu dapat ditemukan di masjid-masjid di area eks-pusat kesultanan, seperti misalnya Masjid Panjunan, Masjid Jagabayan, dan Mushola Pangeran Panjunan.

Di eks-wilayah gemeente di Cirebon, seperti Trusmi, Tegalgubug, dan Gegesik, masjid dengan arsitektur putih kotak, beratap limas susun, dan bermenara, mudah ditemukan. Entah dari mana imajinasi arsitektur ini berasal, apakah murni perkembangan imajinasi masyarakat pribumi pada awal abad ke-20? Atau merupakan kombinasi dari pengaruh gaya arsitektur Masjid Demak dan gaya arsitektur kolonial? Namun sepertinya asumsi yang kedua lebih meyakinkan sepintas.

Baru kemudian masjid-masjid kontemporer yang direncanakan sebagai ‘ikon’ kota yang umumnya dibangun di area pusat pemerintahan Cirebon modern, mulai menunjukkan arsitektur Timur Tengah dengan nuansa puritan. Di Cirebon, imajinasi Timur Tengah ini membeku dalam Masjid At-Taqwa, bersebelahan dengan rumah dinas bupati. Daerah sepersejarahan Cirebon, Indramayu, juga menunjukkan hal serupa melalui Islamic Center-nya.

Apa yang terjadi di Cirebon dan Indramayu menimbulkan tanda tanya, mengapa daerah dengan akar sejarah dan kebudayaan yang kuat justru mengadopsi arsitektur Timur Tengah untuk masjid ‘ikon’ kotanya? Bukankah ini ‘agak membelakangi’ akar sejarah suatu masyarakat tertentu? Atau, hal ini merupakan indikasi dari sesuatu yang sama sekali lain?

Kalau sempat memerhatikan prasasti yang menempel pada tembok masjid, biasanya akan ditemukan: masjid-masjid berbentuk kotak putih dan bermenara umumnya dibangun pada periode 1970-1980an. Periode ini merupakan periode mapannya masyarakat pasca-kemerdekaan yang ditandai oleh kemakmuran ekonomi, stabilitas sosial, dan lain-lain. Tetapi, imajinasi kolonial dan imajinasi kenusantaraan ala Wali Songo masih cukup kuat. Khususnya di area-area kampung.

Pemilik otoritas sosial, arsitek, dan masyarakat yang menginginkan masjid, masih terbayang oleh atap-limas, tiang penyangga berjumlah empat, lima atau bahkan sembilan, dan desain masjid kotak putih berserambi. Hal ini juga bisa dipahami karena kuatnya pengaruh tradisionalisme pesantren di desa-desa yang akarnya terhubung ke era Wali Songo.

Di saat yang sama, periode 1970-1980 juga merupakan periode ‘kebangkitan Islam dan ekonomi’. Di kota-kota besar, mulai diselenggarakan halaqoh dan liqa yang merupakan bibit awal bagi konservatisme Islam pasca tahun 2000.

Dan bila memerhatikan prasasti masjid-masjid bergaya Timur Tengah, biasanya merupakan masjid yang dibangun di periode tahun 2008 ke atas. Tahun ini adalah tahun di mana audiens halaqoh dan liqa telah berada pada posisi dewasa mapan. Mereka berhasil menempati ruang-ruang strategis, baik secara geografis (perumahan, kompleks, kota) maupun sosial (birokrat, pengusaha, Pak RT, dll). Artinya, mereka punya cukup kohesi sosial untuk melegitimasi suatu bentuk imajinasi tertentu.

Secara ekonomi, mereka berhasil menggapai posisi ekonomi kelas menengah. Dan di saat yang sama, mereka juga menjadi ‘produk’ dari arus budaya pop Islam yang mulai subur pasca tahun 1990an. Sejak tahun itu, budaya pop Islam mulai berkembang hingga dapat dikategorisasi menjadi tiga kiblat, yakni aliran Arab Saudi, aliran Turki, dan aliran Iran.

Di antara tiga aliran itu, imajinasi Arab Saudi dan Turki adalah yang paling berpengaruh. Dengan kata lain, basis keagamaan yang diperoleh dari halaqoh dan liqa semasa muda dulu, kini bisa diperkuat oleh imajinasi-imajinasi pop tentang bangunan Arab dan Turki yang diperoleh dari film, iklan, dan sejenisnya.

Baik Bekasi maupun Cirebon, keduanya sama-sama mengalami ‘pengimajisian ulang’ karena adanya ‘reset’ di tahun 1970-1980 yang diprakarsai oleh kekuatan ekonomi dan kekuatan Islam transnasional.

Implikasinya, ada fragmentasi imajinasi umat Islam dalam membayangkan tempat ibadahnya. Fragmentasi itu utamanya disekat oleh pergumulan antara kekuatan modal dan kekuatan budaya pop Islam di wilayah-wilayah urban. Kerinduan akan tanah Arab dibawa dan diartikulasikan ulang di tengah-tengah kompleks kota dan perumahan. Sepertinya bertujuan untuk menggugah perasaan khusyuk, tetapi pada saat yang sama juga mengindikasikan kesalehan sosial dan akumulasi kapital pada kepekatan tertentu di suatu daerah.

Sekat itu juga terjadi di Cirebon, tetapi pengaruh perubahan administrasi wilayah dari masa kesultanan hingga masa modern juga menjadi sekat tambahan. Berbeda dengan Bekasi yang fragmentasinya cenderung agak dikotomis antara kampung kota dan perumahan, di Cirebon, distribusi imajinasi itu tersekat dalam tiga wilayah, yakni wilayah eks-pemerintahan kesultanan, wilayah pemerintahan modern, dan wilayah daerah (ex-gemeente).

Uraian di atas sepertinya dapat menjawab “kenapa bangunan masjid sekarang lebih kearab-araban, meski lingkungan sekitarnya perumahan modern?” Tetapi itu baru setengah menjawab “apa yang diimajinasikan umat Islam atas tempat ibadahnya?” Faktor-faktor penyebab munculnya imajinasi itu memang sudah dijelaskan, tetapi kita masih belum tau ke mana prospek imajinasi itu? Apakah umat Islam adalah umat yang spontan dalam persoalan imajinasi? Spontan dalam artian, hanya membayangkan apa yang terjadi hari ini dan sekarang (here and now)?

Kiranya menarik jika membedah masjid-masjid berarsitektur Timur Tengah itu melalui kacamata Cultural Studies. Apakah kompleksitas ornamen geometri, hangatnya lampu ala Masjidil Haram, gymsum barok, dan kuba menjulang, dan lantai marmer lebih merupakan manifestasi keunggulan budaya Islam? Atau semata keunggulan sumber daya ekonomi yang terbatas pada kemampuan membeli bahan-bahan produksi industri yang seakan-akan mendatangkan ‘Arab’ di tengah perumahan modern?

Multi-Page

Tinggalkan Balasan