Di sebuah lorong waktu intelektual Islam abad ke-6 Hijriyah, terdapat seorang pemikir yang berjalan di atas jalan sunyi, memikul beban wacana yang tak ringan: mengenali keragaman pikiran umat manusia tanpa menyulut kebencian.
Ia bukan sekadar ahli kalam, tapi penjelajah kesadaran kolektif umat. Namanya: Abu al-Fath Muhammad bin Abdul Karim al-Syahrastani (w. 1153 M), dan magnum opus-nya berjudul Al-Milal wa al-Nihal. k

Kitab yang bagi banyak santri klasik hanyalah daftar nama-nama sekte dan aliran. Padahal, ia adalah ensiklopedia keberagaman iman, ditulis dengan nalar yang jernih dan akhlak ilmiah yang luhur.
Membaca Al-Milal wa al-Nihal bukan hanya seperti menelusuri museum sejarah kepercayaan, tetapi juga seperti membuka ruang perenungan tentang bagaimana manusia, sejak zaman dulu, selalu mencoba memahami Tuhan dari banyak jalan, dengan banyak bahasa.
Dan Syahrastani, dengan kejernihan akalnya, tidak mencoba memadamkan satu jalan untuk menghidupkan jalan lain. Ia tidak merasa harus membela agamanya dengan cara mencacatkan agama orang lain. Sebaliknya, ia seperti menulis dengan pena yang dicelupkan ke dalam sumur kasih sayang dan ilmu yang dalam.
Kitab yang Tak Menghakimi
Dalam mukadimahnya yang sangat terkenal, Syahrastani langsung menetapkan posisinya sebagai pengamat, bukan penghukum. Ia menyatakan: