Membaca Hassan Hanafi: Dari Turats ke Liberasi Sosial

Di pondok-pondok pesantren, terutama yang masih memegang erat kitab kuning dan pola bandongan klasik, nama Hassan Hanafi bisa jadi terdengar asing atau bahkan dianggap “tidak penting.” Bukan karena ia tak layak dibaca, melainkan karena ia berada di wilayah yang bagi sebagian kalangan dianggap terlalu “berbahaya” atau terlalu “kiri” untuk dijamah dunia pesantren yang sering kali dianggap identik dengan konservatisme. Tapi, di situlah persoalannya: siapa yang bilang pesantren tidak bisa bersentuhan dengan gagasan radikal dan pembebasan sosial?

Hassan Hanafi, seorang pemikir Mesir kelahiran 1935, adalah representasi dari intelektual Muslim yang mencoba berdiri tegak di antara dua arus besar: tradisi Islam klasik (turats) dan tantangan dunia modern, terutama dalam wujud kolonialisme, ketimpangan sosial, dan stagnasi pemikiran. Hanafi tidak hanya membaca Al-Ghazali atau Ibn Taimiyah, tetapi juga Marx, Hegel, bahkan Sartre. Namun, ia tidak sekadar “mengimpor” mereka ke dalam wacana Islam, tetapi menggugat—menggugat Barat, menggugat tradisi Islam yang beku, dan menggugat cara berpikir kita sendiri.

Advertisements

Turats, Warisan atau Beban

Sebagai santri, kita akrab dengan istilah turats. Ia adalah pusaka. Ia adalah warisan para ulama klasik yang ditulis dalam tinta keemasan.

Tapi di tangan Hanafi, turats bukan sekadar warisan, melainkan juga ladang kritik. Dalam proyek intelektualnya yang masyhur, Turats wa Tajdid (Tradisi dan Pembaruan), ia menulis bahwa tradisi adalah bahan baku, bukan objek pemujaan. Bagi Hanafi, turats harus dibaca dengan kesadaran sejarah dan kritis. Bukan disakralkan, tapi didekonstruksi agar menemukan relevansi sosialnya di hari ini.

Hanafi menolak pendekatan taqlid buta terhadap pemikiran klasik. Bagi dia, membela tradisi tanpa mempertanyakan fungsi sosial dan keberpihakannya adalah bentuk ketertinggalan. Tradisi bukanlah relik museum. Ia harus menjadi alat untuk menghadapi realitas, bukan kabur darinya. Sebuah pesan penting bagi para santri yang setiap hari berjibaku dengan syarah dan hasyiyah: jangan hanya sibuk menghafal, tapi juga bertanya—untuk apa semua ini.

Halaman: First 1 2 3 ... Next → Last Show All

Tinggalkan Balasan