Di tengah ramainya dunia dakwah yang kerap kali dipenuhi oleh sosok-sosok tersohor, ada sosok lain yang sering luput dari perhatian: kiai desa atau kiai langgaran.
Benar, mereka bukanlah sosok pendakwah yang namanya dikenal di media mana pun. Tapi justru pengaruh sosok kiai desa tidak kalah dibanding pendakwah sohor di tengah masyarakat yang majemuk. Entah dari kalangan atas, menengah, hingga ke bawah, semuanya dirangkul dengan tangan yang sederhana.

Berbekal musala sederhana, tegak dengan papan yang gagah atau tembok yang mulai rapuh, beralaskan tikar, berembus angin masuk melalui celah-celah jendela, seorang kiai desa memainkan perannya di tempat itu untuk berdakwah kepada masyarakat. Menanamkan akidah dan ubudiyah sehari-hari dengan mengkaji kitab kuning sebagai bekal bagi mereka. Juga mengajari bacaan Al-Qur’an.
Dengan penuh keikhlasan, tidak jarang sosok kiai desa ini tidak pikir panjang merogoh sakunya untuk membeli suguhan wedang dan jajanan kepada masyarakat yang bersedia mengaji di musala yang sederhana.
Masyarakat seringkali memang harus disogok dengan iming-iming sederhana, semisal segelas kopi, teh, atau gorengan hangat. Kiai desa paham betul, trik semacam itu adalah bentuk pendekatan cerdas supaya mereka mau diajak kepada jalan kebenaran. Melaksanakan ajaran Islam dengan baik dan benar sesuai tuntunan syariat. Membuktikan bahwa Islam rahmatan lil ‘alamin, sosok kiai desa juga berupaya masuk ke dalam kehidupan masyarakat dengan ramah, lemah lembut, dan memberikan perhatian ketika masyarakat sedang mengeluhkan persoalan tertentu.
Tidak sekadar berdakwah ketika pengajian berlangsung. Di luar itu, sosok kiai desa tak jarang ngobrol basa-basi dengan masyarakat selepas pengajian selesai di luar langgar. Ia berusaha masuk ke dalam kehidupan masyarakat untuk menyelipkan dakwah dalam kemasan yang begitu halus, masuk ke dalam relung hati mereka. Dengan kata lain, kiai desa menjelma menjadi living bridge bagi masyarakat. Menjadi jembatan hidup antara ilmu agama dan realitas sehari-hari.