Pesantren hingga saat ini masih dipercaya masyarakat sebagai tempat menimba ilmu-ilmu berbasis Islam. Kemurnian ajaran yang ada di pesantren memosisikannya sebagai lembaga keislaman nomor wahid di Indonesia. Jumlah pesantren di Indonesia berkisar di angka 36.000 dengan jumlah variasi santri yang beragam, tergantung kepopuleran pesantren di mata masyarakat.
Pesantren yang memiliki citra positif dan memiliki kualitas akademik mumpuni biasanya digandrungi oleh pelajar muslim dari berbagai penjuru nusantara. Mereka akan berbondong-bondong nyantri di pesantren impian dan tidak memedulikan sejauh apa jarak yang akan ditempuh, meski harus meninggalkan kampung halaman demi memperoleh sanad keilmuan yang masih terjaga.

Hal ini meniscayakan berkumpulnya santri-santri dari latar belakang suku dan budaya yang berbeda dalam lingkungan yang sama. Santri asal Jawa, Madura, Kalimantan, Sumatera, hingga Sulawesi akan membaur menjadi satu keluarga besar dalam bingkai kehidupan pesantren.
Yang layak mendapat perhatian lebih dari perbedaan-perbedaan ini ialah masalah komunikasi. Selain menjadi sarana transfer keilmuan, komunikasi di pesantren berfungsi sebagai penguat emosional yang dapat merajut keharmonisan antar golongan. Dengan begitu, para santri akan merasa betah dan nyaman jika telah kenal karakter satu sama lain.
Gaya bahasa yang sangat berbeda terkadang menjadi penghambat para santri dalam berkomunikasi. Ketika bertemu orang baru, mereka akan canggung untuk memulai percakapan lebih dulu, khawatir salah dalam memilih bahasa. Biasanya, mereka menunggu ada yang memulai baru kemudian menanggapi dengan bahasa yang telah disesuaikan.
Contoh kecilnya seperti yang saya rasakan saat pertama kali menginjakkan kaki di bumi salah satu pesantren terbesar di Jawa Timur. Di pesantren yang memiliki santri sekitar 20.000-an ini, kemajemukan santri sangat terasa sekali. Satu kamar bisa terdiri dari 5 hingga 6 jenis suku yang berbeda.
Hal inilah yang menjadikan saya sering melakukan blunder dalam memulai interaksi dengan orang-orang baru. Karena suku Madura mendominasi pesantren ini (dan memang kebiasaan saya di pondok lama), saya dengan entengnya menyapa orang yang tak dikenal dengan bahasa Madura. Padahal, orang yang saya ajak interaksi tidak melulu berasal dari Pulau Garam.