Membaca Rekonstruksi Fikih Zakat ala Yusuf Al-Qardhawi

19 views

Nama yang cukup familier di kalangan para santri saat menyebut salah satu tokoh pembaharu Islam kontemporer adalah Syekh Yusuf Al-Qardhawi. Kemasyhuran ini tak lepas dari jasa-jasanya dalam mereduksi pemahaman-pemahaman usang dalam dunia Islam dengan fatwa-fatwa yang lebih dinamis dan relevan dengan perkembangan zaman.

Beliau dianggap sebagai salah satu ulama yang memiliki kapasitas mumpuni dalam menginterpretasikan teks-teks klasik menggunakan ijtihad kontekstual mau pun maqasid syariah. Terbukti dengan banyaknya karya-karya beliau yang dijadikan pegangan mau pun rujukan seluruh umat Islam.

Advertisements

Meski begitu, ada saja  yang menganggap tokoh asal Mesir ini sebagai tokoh radikal dan liberal yang tak pantas dilabeli sebagai ulama, apalagi seorang mujaddid. Pemahaman ini diperoleh ketika hanya melihat status Al-Qardhawi yang diketahui menjabat sebagai ketua spiritual Ikhwanul Muslimin, yang dikenal sebagai golongan islamisme radikal dengan salah satu tokohnya Sayyid Qutb. Padahal, beliau sangat menentang pemikiran Sayyid Qutb, seperti klaim kafir secara serampangan dan perintah melakukan jihad pada masa kini.

Terlepas dari itu semua, saya sendiri merasakan betapa segarnya pembahasan yang beliau sajikan ketika mendapat kesempatan mempelajari salah satu karyanya yang berjudul “Fikih Zakat”. Kesan inovatif, orisinalitas, dan kreativitas dari kitab ini bahkan dapat dirasakan saat baru membuka kata pengantar.

Dalam pengantarnya, Al-Qardhawi menyebutkan bahwa zakat termasuk salah satu rukun Islam yang memiliki nilai ekonomis dan sosial. Menurutnya, zakat tidak cocok jika dikelompokkan dalam kajian ibadah yang terkenal kaku dan ketat. Zakat lebih cocok jika dikelompokkan dalam bidang muamalah yang lebih elastis. Ini karena zakat memiliki nilai-nilai tentang sistem keuangan dan ekonomi yang berkaitan dengan struktur sosial kemasyarakatan.

Terkait pembahasan zakat yang dalam literatur fikih klasik dikelompokkan dalam bab ibadah, itu tidak lain karena zakat dianggap satu kesatuan dengan salat, memandang banyaknya ayat-ayat yang memerintahkan salat sekaligus zakat. Beliau juga mengutip Q.S. 9:11 yang menerangkan bahwa seseorang dianggap sebagai saudara seiman jika ia telah menunaikan zakat, di samping ia telah beriman dan melaksanakan salat.

Halaman: First 1 2 3 Next → Last Show All

Tinggalkan Balasan