Surat kepada Hadratussyekh Hasyim Asy’ari*

Mbah Hasyim yang saya takzimi,

Surat ini saya persembahkan dengan segala hormat kepada para masyayikh yang mulia. Mohon ampun, Mbah Hasyim, jika dalam surat ini terasa kurang ajar di hadapan keagungan panjenengan. Sejujurnya, surat ini saya tulis bukan karena saya merasa tuntas menyelami samudera pemikiran dan jejak langkah panjenengan yang tak terhingga. Justru sebaliknya, surat ini terlahir dari labirin kebingungan yang menyesakkan dada, dari jurang ketidaktahuan yang menggelapkan mata, terutama tentang keluasan ilmu agama yang bagai cakrawala tanpa tepi. Satu-satunya keberanian yang mendorong menulis surat ini adalah “ancaman” nyata yang laksana pedang terhunus dari dua punggawa kami di jejaring duniasantri: Kang Ngatawi Al-Zastrouw dan Pak Mukhlisin.

https://www.instagram.com/jejaringduniasantri/

Di tengah pusaran kebingungan yang mencengkeram kalbu, saya mencari oase dalam munajat dan tawasul, kemudian saya melafazkan Ratibul Haddad di sepertiga malam. Ketika fajar mekar, kelopak mata ini tak kuasa menahan lelap, dan gerbang alam mimpi pun terbuka dengan paksa.

Di sana, dalam sunyi yang mencekam, sebuah tarian kematian alam semesta tersaji di hadapan saya. Daun-daun mangga yang semula hijau pekat di pelataran rumah, satu demi satu melepaskan diri dari rantingnya, terjatuh bagaikan air mata pepohonan yang meratapi takdir. Mereka melayang turun dengan komposisi yang sungguh menghayat, seolah serpihan-serpihan keindahan yang tersesat di antara langit dan bumi.

Anehnya, di tengah kejatuhan yang dramatis itu, warna hijau pupus, berganti menjadi kuning legam, warna senja abadi yang menyelimuti sebuah perpisahan. Ketika helai-helai daun itu akhirnya mencium tanah, tiba-tiba, sosok agung Mbah Hasyim hadir bagai cahaya di tengah kegelapan. Mbah Hasyim melintas tak jauh dari tempat saya terpaku, berjalan dengan aura kewibawaan yang memancar, seolah Sang Guru sedang menembus batas ruang dan waktu. Seketika itu pula, mata ini tersentak, kembali ke dunia nyata yang terasa begitu hampa setelah menyaksikan fragmen mimpi yang begitu dahsyat.

Beberapa hari kemudian, mimpi itu saya ceritakan kepada Kang Ngatawi Al-Zastrouw dan Pak Mukhlisin. Kang Zastrouw, yang juga pernah menjadi asisten KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), cucu Mbah Hasyim sendiri, seperti biasa, Kang Zastrouw hanya tersenyum. Kemudian, ia memandang saya sekilas, “Bikin tulisan, judulnya ‘Rotibul Hasyim’.” Pak Mukhlisin yang duduk di samping saya lekas menyetujui, “Bagus itu.”

Sementara itu, saya masih tercengang. Bulu kuduk merinding. Separo kesadaran saya seakan dibawa melayang ke tempat yang tidak saya ketahui. Saya, dengan pemahaman yang dangkal, meyakini bahwa saat itu ruh saya sedang pergi dan bersama Mbah Hasyim.

Hingga surat ini saya tulis, saya masih tidak tahu harus memulai dari mana dan apa yang harus saya tulis tentang sosok dan pemikiran Mbah Hasyim. Bukan karena kekurangan bahan tentang panjengan, karena sosok, pemikiran, dan kiprah panjengan, Mbah, terhadap dunia Islam di Indonesia dan perannya dalam kemerdekaan Republik Indonesia berlimpah ruah. Artinya, bahan tentang panjengan ada di mana-mana. Kalaupun saya menulis ini, semata-mata karena saya justru tidak tahu harus menulis apa.

“Tidak boleh ikut ke Jombang sebelum naskah tentang Mbah Hasyim selesai!”

Pernyataan di atas adalah sebuah ultimatum dari dua sosok penting di jejaring duniasantri, Kang Zastrouw dan Pak Mukhlisin, yang sungguh membuat lutut gemetar. Keringat dingin pun mengucur. Jantung rasanya pindah ke tenggorokan. Bukan, Mbah, bukan karena saya takut honornya dipotong pajak, sebab kami semua tahu betul, di duniasantri ini, honor adalah fiksi yang paling manis. Tapi, saya benar-benar takut jika naskah ini tak kunjung rampung, saya tidak bisa ngopi di Jombang bersama orang-orang hebat, tokoh-tokoh, khususnya dzuriyah Mbah Hasyim. Itu saja.

Mbah, ngomong-ngomong soal fiksi, saya jadi teringat sebuah realitas yang tak kalah absurd di era yang panjenengan perjuangkan kemerdekaannya ini: bahwa orang berduit jauh lebih penting dari orang berilmu. Namun, untungnya panjenengan sudah mewariskan sebuah pemikiran yang bisa menjadi kompas bagi kebingungan ini, yaitu soal cinta tanah air.

Pemikiran kebangsaan panjenengan bukan sekadar slogan di spanduk dadakan. Ia adalah integrasi paripurna antara Islam dan nasionalisme. Panjenengan menyatukan keduanya, menjahitnya menjadi satu kain yang tak bisa dirobek. “Hubbul wathan minal iman” itu bukan kalimat gombal untuk menarik simpati politikus, Mbah. Ia adalah sebuah pernyataan cinta yang tulus, yang membingkai Islam dan Indonesia dalam satu tarikan napas. Panjenengan mengajarkan bahwa menjadi Muslim yang taat itu, ya harus sekaligus menjadi patriot bangsa yang baik. Tak ada dikotomi. Tak ada pilihan biner.

Panjenengan tahu betul bahwa negara ini dibangun dari tanah yang sama, tapi isinya berbeda-beda. Maka, Resolusi Jihad panjenengan bukan cuma soal angkat senjata, Mbah, tapi juga tentang ajakan untuk bersatu, mengesampingkan perbedaan, dan melawan penjajah. Sebuah pemikiran yang satir jika dibandingkan dengan para “pendakwah” zaman sekarang yang gemar sekali memecah belah umat, padahal musuhnya ada di dalam diri sendiri.

Panjenengan juga paham bahwa jihad itu bukan hanya di medan perang, melainkan juga di medan ilmu. Maka, panjenengan dirikan Pesantren Tebuireng, bukan sekadar untuk mencetak kiai dan ulama, tapi juga mencetak patriot yang tahu betul arti dari perjuangan. Panjenengan dirikan Nahdlatul Ulama, bukan sekadar untuk menjadi organisasi massa, tapi menjadi jangkar pemikiran dan penjaga tiang kebangsaan.

Lalu, apa lagi yang harus saya tulis dari sosok jenengan, Mbah? Saya tak cukup punya nyali melihat sosok yang tidak hanya dikenal sebagai seorang ulama besar, pendiri organisasi besar di Indonesia, Nahdlatul Ulama, tapi juga seorang Pahlawan Nasional.

Tapi, Mbah, kalau boleh saya curhat, tentang ketidakberanian saya dalam menarasikan perjalanan, pemikiran, dan keilmuan jenengan. Andai, andai saya punya nyali seperti nyali politikus. Ah, Mbah, kadang saya jadi iri dengan nyali para politikus yang berani dan terkesan tergesa-gesa dalam mengambil kebijakan. Sampai-sampai bikin kami bingung tujuh keliling. Atau para pendakwah dadakan yang naik panggung pakai seragam lengkap, lalu teriak-teriak “bidah” dan “haram” dengan gampang. Kok ya bisa-bisanya mereka membenci yang tak sejalan, ya, Mbah? Nyali saya tidak sekuat itu.

Bahkan tidak jarang di antara mereka, Mbah, setiap kampanye selalu mengibarkan bendera dengan gambar jenengan, demi mendapat simpati. Tidak jarang pula mengutip dan membawa nama jenengan ke panggung politik. Sementara pada saat bersamaan, Mbah, perilaku mereka jauh dari apa yang jenengan contohkan.

Saya jadi teringat pemikiran panjenengan yang disusun kembali oleh cucu panjenengan, Kiai Muhammad Ishom Hadziq, dalam kitab Risalah Ahlusunnah Wal-jamaah. Panjenengan menulis, “Saat ini kaum Muslimin sangat membutuhkan doktrin-doktrin ajaran yang benar. Banyak orang yang bodoh mulai berani maju berfatwa, padahal wawasan dan pemahaman mereka terhadap kitabullah dan sunah Rasulullah SAW sangat terbatas.”

Rasanya, kalimat itu masih sangat relevan sampai sekarang. Banyak dari kami mengutip ayat dan hadis seenaknya, tanpa melihat konteks. Lalu, siapa yang tak sepakat langsung dianggap kafir. Ngeri, Mbah, ngeri sekali!

Padahal, panjenengan selalu menekankan pentingnya adab dan etika bagi para pencari ilmu. Mendekatkan diri kepada Allah, menjaga lisan dan perbuatan, serta selalu rendah hati. Panjenengan juga berpesan, Mbah, agar ilmu yang telah dipelajari harus diamalkan. Bukan cuma disimpan di kepala, tapi jadi bekal untuk memberi manfaat bagi diri sendiri dan orang lain.

Tujuan pendidikan, menurut panjenengan, bukan cuma soal pintar, Mbah. Tapi untuk membentuk manusia yang sempurna, yang dekat dengan Allah, dan meraih kebahagiaan dunia akhirat. Pemikiran inilah yang menjadi fondasi panjenengan dalam berbangsa dan bernegara. Mencintai negara tidak cukup dengan pidato, tapi harus dimulai dari mendidik para santri dengan tujuan mulia itu.

Lalu apa yang harus saya tulis dan sampaikan kepada jenengan, Mbah? Semua sudah ada yang menulis, dan saya, sebagaimana saya sampaikan dalam pembuka surat ini, ketika mencari: apalagi yang belum ditulis oleh peneliti dan penulis-penulis besar baik dari dalam negeri maupun penulis dari luar negeri tentang sosok, peran, pemikiran, dan keilmuan jenengan. Semua sudah ditulis.

Dan saya, ketika masih di pesantren, lebih banyak bolos ketimbang mengaji. Haruskah saya menafsirkan mimpi berdasarkan tafsir kitab karangan ulama Muhammad bin Sirin, dalam kitab Tafsir Al-Ahlam?

Mbah, seperti yang saya ceritakan, mimpi itu sungguh tak masuk akal. Masa iya daun mangga yang hijau, ketika gugur dan melayang, berubah jadi kuning? Apa karena saking indahnya, saking terburu-burunya jatuh, sampai-sampai warnanya pun ikut berubah? Entah. Yang jelas, kehadiran panjenengan di bawah pohon mangga tempat saya duduk membaca Ratibul Haddad itu, sungguh membuat bulu kuduk merinding. Seakan-akan ada isyarat, bahwa kami, jejaring duniasantri, ada dalam naungan dan bimbingan panjenengan.

Adapun perubahan warna dari hijau menjadi kuning itu, saya kira, bisa diartikan sebagai perjalanan spiritual yang sedang saya dan teman-teman di jejaring duniasantri jalani menuju kematangan. Bukankah demikian, Mbah?

Mimpi itu, Mbah, saya yakini sebagai restu dan dukungan spiritual untuk gerakan literasi kami, baik jejaring duniasantri maupun Media Group Tebuireng yang sedang kami kerjakan. Sebuah “pengesahan” batin bahwa niat gerakan kami dalam mengembangkan pemikiran panjenengan bukan semata-mata karena ancaman, tapi karena memang sebuah panggilan spiritual yang harus kami jalani. Bukankah begitu, Mbah?

Dan, seperti yang panjenengan tahu, hal-hal spiritual seperti ini tak bisa diukur dengan uang. Jadi, tulisan ini sungguh-sungguh lahir dari keyakinan, bukan karena saya diancam oleh dua punggawa jejaring duniasantri itu.

Maka, dalam momen Zikir Kemerdekaan dan Perayaan hari lahir yang keenam jejaring duniasantri yang bekerjasama dengan Media Group Tebuireng ini, Mbah, kami mohon doa dan restu. Semoga pemikiran-pemikiran panjenengan, terutama soal pendidikan, kebangsaan, dan keberpihakan pada rakyat, bisa menjadi fondasi kami dalam berpikir, bertindak, dan mengambil keputusan. Tujuannya, supaya kami tidak salah langkah dan membuat kebijakan yang merugikan rakyat, seperti yang sering terjadi di negeri yang panjenengan perjuangkan kemerdekaannya ini.

Mbah Hasyim, izinkan saya menutup surat ini dengan mutiara kalam panjenengan, “Jika suatu amal tidak dilandasi keikhlasan, maka tidak akan tambah kecuali kegelapan di dalam hati, dan barang siapa yang berserah diri pada Allah, maka Allah akan berpihak kepadanya.”

Mbah Hasyim, kami sadar, di usia kami yang masih belia, banyak hal harus diperbaiki dan diperjuangkan.

Salam takzim,
Mahwi Air Tawar

*Dibacakan pertama kali dalam wayangan ulang tahun ke-6 jejaring duniasantri di Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, 20 Agustus 2025.

Tinggalkan Balasan