Pagi itu, embun masih bergelantungan di ujung-ujung daun ketika suara lantang dari mushala kecil membelah kesunyian Jombang. Suara itu datang dari seorang kiai sepuh yang duduk bersila di serambi pesantren, dengan janggut putih yang menjuntai rapi dan sorban lusuh yang menjadi saksi usia dan perjuangan. Dialah Kiai Hasyim Asy’ari — atau yang para santri biasa panggil “Simbah.”
Pesantren Tebuireng masih lengang. Hanya suara ayam berkokok dan dedaunan yang bergesekan tertiup angin pagi. Di serambi itu, Simbah duduk ditemani secangkir teh yang mengepul. Bukan teh mahal dari toko-toko besar, melainkan teh kampung, diseduh dengan gula batu oleh santri dapur. Namun, bagi Simbah, teh itu sudah cukup menjadi teman setia dalam merenung dan mengingat Allah di awal hari.

Tak lama kemudian, seorang santri muda datang menghampiri. Namanya Sahal, santri asal Jepara yang baru dua tahun mondok. Ia membawa baki kecil berisi sepotong roti singkong dan sebungkus tempe goreng yang baru diangkat dari wajan.
“Sugeng enjang, Mbah,” ucap Sahal sambil menunduk, mencium tangan Simbah.
Simbah mengangguk pelan. “Sugeng enjang, Le. Alhamdulillah… awakmu sehat?”
“Inggih, Mbah. Alhamdulillah. Mbah sehat juga?” tanya Sahal dengan suara pelan dan sopan.
Simbah tersenyum. “Sehat itu bukan sekadar badan, Le. Kalau hati kita dekat sama Gusti Allah, insyaallah semua akan baik-baik saja.”
Sahal mengangguk pelan, lalu duduk bersila di samping Simbah, menjaga jarak dan adab. Mereka diam sejenak. Hanya terdengar desir angin pagi yang membelai pucuk-pucuk pohon mangga di halaman pesantren.
“Tehmu pagi ini manis sekali, Le,” ujar Simbah sembari menyeruput pelan. “Tapi jangan biarkan hidupmu dimanjakan oleh manis. Kadang getir itu yang membuatmu lebih peka pada hakikat.”
Sahal menunduk. Setiap kata Simbah seperti mata air yang tak habis mengalirkan hikmah. Ia tahu, di balik kesederhanaan itu tersembunyi kekuatan dahsyat. Bukankah Simbah Hasyim adalah ulama yang berani menentang penjajah, bahkan mengeluarkan Resolusi Jihad?