Mata Karim menelaah di sekitar rumahnya. Rumah itu kini sudah sedikit asing. Ia sudah tiga tahun tak pulang dari pondok pesantren. Bukannya tak peduli lagi dengan keluarganya di Madura, namun karena ia harus tekun belajar ilmu agama di pesantrennya.
Kini ia berdiri dengan baju koko dan sarung yang melekat erat namun tak bersongkok. Sesekali angin mengibarkan rambutnya yang pekat. Ia melihat, banyak yang sudah berubah dan tak ia kenali akan rumahnya. Rumahnya kini sudah megah meski tetap dengan gaya khas kemaduraannya. Kamar mandinya tak lagi berdindingkan tabing.

Namun tak hanya itu. Ada sesuatu yang mengganjal di mata Karim. Kandang sapi kerap lengkap beserta tempat mandinya juga telah berubah. Semakin besar dan mewah. Sapi kerap milik bapaknya pun kian bertambah. Tak hanya dua, kini ada delapan ekor sapi yang berumah di dalam kandang itu. Melihat pemandangan itu, kepala Karim mendidih tak tertahan, apalagi kaleles merah itu berjejer di depan kandang, sangat menyolok mata. Mulut Karim bergetar, lantas beranjak untuk mengambil wudhu dan mendinginkan gemuruh dadanya yang meronta.
Bulan membias cahaya, menyorot genteng rumah Karim yang berbaris rapi.
“Pak, bukannya Karim sudah meminta bapak untuk tidak ngerap lagi!” ucap Karim pada bapaknya yang sedang duduk di balkon menyilangkan kaki.
“Bapak tahu kan kalau kerap itu haram, dilarang agama pula.”
“Rim, ngerap adalah satu-satunya mata pencaharian bapak. Kan, juga termasuk tradisi kita,” jawab bapaknya sambil menyeruput kopinya yang masih hangat.
“Tapi, pak, almarhumah ibu juga tak suka kalau bapak ngerap. Bapak mau ibu sedih hanya karena bapak ngerap?”
“Mau bagaimana lagi, Rim, kamu tahu kan dari mana uang yang bapak keluarkan untuk membiayai pondokmu,” timpal bapaknya yang membuat Karim hanya termenung, menghitung detak jantungnya yang kencang.