DI SELA POHON BAMBU
Di sela pohon bambu yang riang, cahaya itu menyambut
Seraya berucap “selamat datang”
Pada wanita bersepatu hitam

Ia berjalan menyusur sungai
Menemui anak kecil di daratan seberang.
Wanita itu bertanya, “Apa cita-citamu kelak, Nak?”
“Menjaga negeri dari rakus bangsa sendiri.
Laut biru kami jangan dihitamkan
Tanah merah kami jangan diberangus
Satwa kami jangan diusir
Rumah kami jangan digusur
Jiwa kami jangan dibunuh
Dengan narasi narasi untung
Hidup kami jangan digadaikan
Dengan tanah merah
Kami, mengemis di tanah sendiri
Air mata kami telah menyatu bersama hujan di atas pepohonan rindang dan lautan yang menjaga karang.
Napas kami berembus bersama kicau cenderawasih.”
Wanita itu menangis, mendengar si anak berkata.
“Mari kita rayakan duka semesta dengan puisi, barangkali ada yang membaca.”
Malang, 11 Juni 2025.
SEBUNGKUS DUKA DARI IKAN
Ikan sibuk membungkus duka
dengan kantong plastik
Membawanya berenang
dari satu benua ke benua lainnya
air matanya mengalir,
bersama air yang menangis
tanah dan udara mengalun,
mengelus si air yang tengah bersedih.
Ombak yang kian menua, sakit
Awan yang beruban, menjadi renta.
“manusia itu petaka!”
petir menyambar dengan gelegarnya
Padahal di atas pijak tanah
Manusia sedang merayakan sengsara
Ia makan ikan berbungkus duka
Tanah Everest dan air Mariana yang berjaya menjadi layu
Mendengar kisah ikan
Burung-burung terbang,
menyampaikan pesan pada pegunungan
Ikan-ikan berenang,
mengabari lautan
satu kabar duka tersebar,
“bumi kita berakhir!” seru samudera
Ikan berpamit pulang pada samudera,
kembali pada keluarga yang tengah menunggu
di bantaran sungai.
Tak tahunya, keping-keping kematian
menemuinya tiba-tiba.
Belum sampai ia bersua, mati begitu saja.
Burung yang terbang, membangunkannya