REVOLUSI DIMULAI DARI PATI
Di alun-alun yang tua
langkah-langkah manusia menorehkan garis di tanah
setiap jejak seperti huruf pertama dari kitab perubahan
Spanduk diangkat menjadi lembaran takdir
yang menunggu tinta keberanian.
Langit menggantung rendah
membiarkan suaranya disulam oleh teriakan yang tak bisa lagi disembunyikan
Setiap wajah memancarkan nyala
yang lahir dari kerinduan purba akan keadilan
yang telah lama terkubur di bawah abu kesabaran
Di antara hiruk dan desir angin
terdengar doa yang merambat di udara:

“Bumi ini harus menyebut namanya sendiri.”
Dan hari itu, bumi menyebut nama Pati
sebagai titik sebuah arus yang tak akan kembali menjadi tenang.
REVOLUSI DAMAI DI LADANG
Pagi menetes di ujung daun padi
matahari membuka matanya perlahan
seolah mengintip rahasia di antara barisan petani
Tangan-tangan kasar menggenggam cangkul
sebagaimana seorang penyair menggenggam pena
dengan keyakinan bahwa dunia dapat diubah dari satu gerakan sederhana
Tidak ada dentum senjata
hanya bunyi dedaunan yang berselisih lembut
dan gemericik air irigasi yang mengalir seperti lantunan doa
Mereka berjalan ke kota
membawa kehendak yang tumbuh dari tanah basah
dan keyakinan bahwa ketenangan bukanlah ketiadaan perjuangan.
Di bawah terik
mereka berdiri untuk mengingatkan
bahwa bumi ini adalah ibu
dan ibu tidak pernah membiarkan anaknya kelaparan
Hari itu,
sawah menumbuhkan keberanian
yang akar-akarnya menembus hati manusia
DARI PANGGUNG HIBURAN KE PANGGUNG PERUBAHAN
Cahaya lampu menari di udara
musik menggulung suasana menjadi gelombang yang memabukkan.
di sela irama, suara seorang pemimpin
mengiris seperti cahaya pertama fajar.
Ia berbicara tentang revolusi pertanian
sebagaimana seorang pendeta membacakan ayat suci
setiap kata adalah benih
yang dilemparkan ke tanah kesadaran.
Petani yang dahulu hanya menyimak
kini merasakan panggung itu sebagai tanah miliknya sendiri.
Di panggung itu
hiburan berubah menjadi ladang
lagu menjadi pupuk
dan janji menjadi air yang menyirami pohon harapan.
Di langit Pati siang itu
Matahari menunduk mendengarkan
seolah tahu bahwa sejarah sedang memetik nada baru
TUNJANGAN KECIL, MIMPI BESAR
Di ruang kelas yang dindingnya menyimpan aroma kapur
guru-guru menata kursi-kursi mungil
seperti menata altar bagi masa depan
Di mata mereka, setiap anak adalah kitab kosong
yang harus diisi dengan aksara kebajikan
Kabar tunjangan datang sebagai angin lembut
yang membawa wangi tanah setelah hujan.
Seratus ribu rupiah
bukan sekadar angka,
melainkan pengakuan bahwa tangan yang mengajar huruf pertama
sedang menulis sejarah yang tidak terlihat di koran.
Guru adalah revolusi yang berjalan tanpa gempita,
mengubah dunia satu kata demi satu kata,
satu langkah demi satu langkah,
hingga suatu hari anak itu berdiri di panggungnya sendiri
dan menyebut dunia dengan bahasa yang lebih adil.
Sumber foto: kompas.com