Pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam tertua dan paling berpengaruh di Indonesia sejak abad ke-18. Sebagai pusat pembelajaran agama dan pengembangan keilmuan Islam, pesantren berperan penting dalam melahirkan ulama, tokoh masyarakat, dan pelestarian tradisi keilmuan Islam yang khas di Nusantara.
Narasi umum mengenai pesantren kerap menekankan aspek spiritualitas, ketauhidan, harmoni sosial, dan egalitarianisme antarsantri serta pengajar. Citra ini menjadikan pesantren sebagai alternatif yang sangat dikagumi dibandingkan sistem pendidikan sekuler yang dinilai kurang menanamkan nilai moral dan karakter kuat bagi para siswanya. Pesantren juga dikenal mampu menciptakan disiplin diri, tanggung jawab, dan solidaritas yang kuat di antara para santri.

Namun, meski demikian, narasi idealisasi ini sering kali mengabaikan adanya dimensi relasi kuasa internal yang kompleks. Struktur hierarkis yang jelas terbentuk antara kiai, ustaz, musyrif, dan santri bukan hanya sekadar pembagian peran, tetapi juga merupakan bagian dari jaringan kekuasaan yang mengatur perilaku dan norma sosial di lingkungan pesantren.
Kiai sebagai figur sentral memegang otoritas moral dan religius, yang kemudian diikuti oleh ustaz dan musyrif sebagai penghubung antara kiai dan santri. Relasi ini menghasilkan mekanisme compliance (kepatuhan) dan legitimasi yang memastikan norma sosial keagamaan dan aturan pesantren ditaati secara konsisten.
Dengan memahami dimensi kekuasaan ini, kita dapat melihat pesantren tidak hanya sebagai lembaga pendidikan dan spiritualitas semata, melainkan juga sebagai arena reproduksi norma sosial yang melibatkan pengelolaan kekuasaan dan hubungan sosial yang dinamis. Pemahaman ini penting agar analisis terhadap pesantren tidak hanya terjebak pada idealisasi, melainkan juga menangkap realitas sosial yang lebih kompleks di dalamnya.
Kekuasaan sebagai Jaringan dan Praktik Disipliner di Pesantren
Dalam kerangka pemikiran Michel Foucault, kekuasaan tidak dipahami sebagai entitas hierarkis atau kekuatan yang semata-mata terpusat dan dimiliki oleh individu atau institusi tertentu. Foucault melihat kekuasaan sebagai jaringan relasional yang tersebar melalui praktik sosial, wacana, dan institusi. Kekuasaan dalam pandangan ini bersifat produktif: bukan hanya menindas atau melarang, tetapi juga membentuk identitas, pengetahuan, perilaku, bahkan tubuh para subjek.