Kita hidup di era ketika perubahan terjadi lebih cepat daripada kemampuan sistem yang tersedia untuk merespons. Krisis iklim, ketegangan geopolitik, dan disrupsi teknologi menghadirkan tekanan multidimensi bagi negara-negara berkembang seperti Indonesia.
Di tengah kondisi seperti ini, kita tidak bisa mengandalkan kepemimpinan yang sekadar mempertahankan status quo. Kita butuh pemimpin yang mampu membangun sistem baru, yang lentur dan adaptif terhadap tantangan zaman.

Dalam konteks ini, konsep kepemimpinan intrapreneurial, yaitu gaya kepemimpinan yang membawa semangat kewirausahaan dari dalam sistem yang ada, menjadi semakin relevan. Bukan sekadar pemilik visi, pemimpin intrapreneurial mampu mengeksekusi perubahan dari dalam struktur yang telah mapan, dengan pemahaman terhadap proses, risiko, dan peluang yang tersedia.
Salah satu tokoh publik yang pantas dijadikan rujukan dalam model kepemimpinan ini adalah Rachmat Gobel. Ia adalah contoh langka figur yang menjembatani dunia usaha dan politik dengan pendekatan yang transformatif, bukan transaksional. Gobel bukan hanya dikenal karena berhasil memodernisasi Panasonic Indonesia, tapi juga karena konsistensinya dalam mendorong agenda kemandirian ekonomi nasional, baik saat menjabat Menteri Perdagangan maupun kini sebagai Wakil Ketua DPR RI.
Kepemimpinan Gobel memperlihatkan bahwa inovasi tidak selalu harus datang dari luar sistem. Ia justru membuktikan bahwa perubahan yang berakar dari dalam, yang dilakukan oleh mereka yang memahami struktur dan memiliki keberanian untuk menggugahnya, lebih mampu bertahan dan beradaptasi.
Saat memimpin transformasi Panasonic Indonesia pada awal 2000-an, Gobel menerapkan kombinasi antara efisiensi khas Jepang dan kreativitas khas Indonesia. Ia tidak hanya memperbarui teknologi dan proses produksi, tapi juga mengubah budaya organisasi agar lebih partisipatif dan tangguh menghadapi disrupsi.
Semangat ini pula yang dibawanya ke ruang parlemen. Sebagai Wakil Ketua DPR RI, Gobel tidak menempatkan dirinya semata sebagai politisi, melainkan sebagai penggerak perubahan. Fokus utamanya adalah memperkuat basis produksi dalam negeri, mulai dari industri manufaktur hingga pertanian dan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Sikapnya jelas: Indonesia tidak boleh terus bergantung pada impor, dan pembangunan tidak boleh menjauh dari rakyat kecil.