Pesantren dan Perempuan

Di tengah gelombang perubahan sosial, ekonomi, dan teknologi yang begitu cepat, pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam tradisional justru menunjukkan daya tahan luar biasa. Tidak hanya bertahan, pesantren juga berkembang dan bertransformasi.

Salah satu aspek penting dari transformasi ini adalah munculnya ruang baru bagi  santriwati untuk berkarya, bersuara, dan berperan aktif dalam ranah keilmuan, sosial, hingga kepemimpinan.

Advertisements

Dulu, keberadaan perempuan di pesantren cenderung berada di pinggiran. Mereka ada, tapi tidak tampak. Mereka belajar, tapi jarang disebut. Namun kini, wajah dunia santri perempuan telah berubah. Santriwati tidak lagi hanya identik dengan dapur atau kamar jahit, tapi juga sederajat di ruang-ruang bahtsul masail, panggung diskusi publik, studio podcast dakwah, bahkan mimbar advokasi.

Jika kita telusuri jejak historis pesantren, sebenarnya perempuan sudah sejak lama menjadi bagian tak terpisahkan dari dunia pesantren. Hanya, narasi besar tentang pesantren lebih sering menempatkan tokoh laki-laki sebagai sentral. Kiai disebut, tapi bu nyai sering dilupakan. Padahal, dalam banyak pesantren, peran nyai sangat kuat mulai dari mendidik santri putri, memimpin pengajian ibu-ibu, hingga menjadi rujukan masyarakat sekitar.

Beberapa pesantren besar di Jawa bahkan memiliki sistem pengajaran untuk perempuan sejak awal. Transformasi ruang dakwah dan pendidikan ke dunia digital juga memberikan peluang besar bagi perempuan santri. Kini, banyak santriwati yang aktif membuat konten dakwah di media sosial, menulis artikel, menjadi narasumber podcast, bahkan mengelola komunitas belajar online. Mereka menyampaikan Islam dengan cara yang segar, inklusif, dan mudah diakses oleh generasi muda.

Fenomena ini menunjukkan bahwa santri perempuan mampu menjadi jembatan antara tradisi dan modernitas. Mereka tidak tercerabut dari akar tradisi, tapi juga tidak tertinggal dari zaman. Di tangan mereka, pesantren tidak hanya lestari, tetapi juga relevan.

Meski ruang baru sudah terbuka, jalan santri perempuan belum sepenuhnya lapang. Masih ada tantangan budaya patriarki yang mengakar di sebagian pesantren. Masih ada stigma bahwa perempuan tidak boleh tampil di ruang publik, atau bahwa tugas perempuan hanya mengabdi di dapur dan rumah tangga.

Halaman: First 1 2 3 Next → Last Show All

Tinggalkan Balasan