PINTU YANG TERBUKA
Pagi itu, aroma kopi tidak lagi sama.
Bukan wangi yang menenangkan, tapi hawa yang dingin.
Di meja makan, piring Ayah dan Ibu tak lagi berhadapan.
Mereka bicara, tapi suara mereka seperti kaca yang pecah.
“Rumah ini,” bisikku pada boneka usang,
“Tak lagi punya atap untuk menahan hujan.”

SUDUT-SUDUT SUNYI
Aku mencari ruang di antara celah-celah sepi.
Kamar tidurku menjadi pulau terpencil.
Buku-buku menjadi temanku,
Jendela menjadi layar film tentang dunia yang damai.
Di sana, aku bisa melihat tetangga tertawa,
Ayah dan Ibu mereka duduk berdampingan,
Dan aku bertanya, “Kenapa tidak denganku?”
PERCAKAPAN YANG HILANG
Aku mencoba mengingat tawa mereka di masa lalu.
Saat Ayah memelukku, saat Ibu menyanyikan lagu.
Sekarang, yang ada hanya hening yang panjang.
Pertanyaan-pertanyaan tak terjawab.
“Mengapa kalian tidak lagi mencintai?”
“Mengapa aku harus memilih salah satu?”
“Apakah aku yang menjadi penyebabnya?”
Suara-suara ini hanya bergema di dalam kepalaku.
MEMBANGUN ATAP BARU
Suatu hari, aku melihat ke cermin.
Mata yang lelah, tapi di dalamnya ada harapan.
Aku akan membangun atap sendiri,
Dengan puing-puing cinta yang masih tersisa.
Aku akan menjadi pelukis yang mewarnai masa depan.
Meskipun rumahku pecah, jiwaku tetap utuh.
PULANG PADA DIRI SENDIRI
Aku pulang, bukan ke rumah yang dulu,
Tapi ke dalam diriku sendiri.
Aku menemukan kekuatan di balik luka,
Dan kesabaran di setiap air mata.
Aku akan memaafkan, bukan untuk mereka,
Tapi untuk diriku.
Agar aku bisa tumbuh,
Dan menjadi rumah yang utuh bagi diriku sendiri.
*Puisi-puisi karya Ainur Risma, peserta workshop penulisan kreatif dan jurnalistik jejaring duniasantri di Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, 21-22 Agustus 2025.