Semoga saya tidak lancang masih bertanya tentang puisi Arab hari ini. Di tengah dunia yang porak-poranda, ketika tak ada yang benar-benar bisa menjamin apakah mereka, para penyairnya, masih akan hidup esok pagi.
Tapi justru karena itulah pertanyaan ini penting. Masih ada yang memilih menyusun kata di tengah dentuman. Masih ada yang mengguratkan baris-baris sunyi ketika sejarah seperti kehilangan arah. Barangkali karena puisi, dalam bentuknya yang paling jujur, bukan sekadar karya sastra, melainkan cara bertahan. Sebentuk desah yang tetap mengalir meski dunia sekitarnya memutus napas.

Puisi Arab tetap menggumam. Ia bertahan, mungkin karena satu-satunya yang bisa diselamatkan dari reruntuhan adalah suara. Dan suara itu, sering kali, datang dalam bentuk puisi.
Dalam dua atau tiga tahun terakhir, puisi Arab menunjukkan vitalitas yang tak bisa diabaikan. Situasi politik yang tak menentu di Suriah, Palestina, Yaman, dan Lebanon, ketegangan identitas di Israel, pengasingan seniman di Mesir, bahkan trauma berkepanjangan di Irak, justru melahirkan bentuk-bentuk puisi yang liar, jujur, dan tidak lagi tunduk pada pakem retorika masa lalu.
Diaspora dan Media Baru
Yang menarik, banyak dari suara puisi Arab hari ini justru lahir dari luar dunia Arab. Diaspora penyair menjadi semacam cermin pecah yang menampakkan wajah bahasa Arab dalam refleksi-retak yang menyayat.
Dunya Mikhail menulis dari Michigan tentang perang yang tak selesai. Puisinya, The War Works Hard, tak lagi menyebut nama-nama Tuhan atau tanah air, tetapi justru menyusun daftar kerja siang malam yang dilakukan oleh perang: memanggil ambulan, membangunkan lalat, melatih pahlawan, menciptakan kuburan.
Najwan Darwish, yang tinggal di Ramallah namun dibaca lebih luas di Berlin dan New York, menulis puisi yang terasa seperti patahan fragmen Injil dan peringatan dari masa depan. Puisinya ringkas, seperti serpihan kaca. I’ve seen enough corpses / to know I’m still a child, tulisnya dalam “Nothing More to Lose”. Tidak ada upaya untuk membuat kematian tampak puitis. Justru dalam ketelanjangan itulah puisinya mencengkeram.