Nasib Kelas Menengah yang Terlupakan (dalam Sistem Beasiswa)

Dalam diskursus pendidikan di Indonesia, beasiswa kerap dipahami sebagai bantuan yang ditujukan khusus bagi anak-anak dari keluarga sangat miskin. Namun, di balik fokus tersebut, ada kelompok lain yang sering luput dari perhatian: anak-anak keluarga kelas menengah yang menghadapi ketidakpastian finansial. Mereka bukan yang termiskin, tapi juga belum sepenuhnya mampu membiayai pendidikan tinggi secara mandiri.

Keluarga kelas menengah di Indonesia umumnya terdiri dari pegawai negeri dengan penghasilan terbatas, guru honorer, pedagang kecil, atau pekerja informal. Secara statistik, mereka tidak masuk kategori miskin, sehingga seringkali tidak memenuhi syarat untuk mendapatkan beasiswa.

Advertisements

Namun, realitasnya, mereka menghadapi kesulitan nyata dalam mengelola biaya pendidikan yang terus meningkat. Pendapatan yang pas-pasan dan biaya hidup yang melonjak membuat keluarga ini sulit menyisihkan dana untuk pendidikan anak-anak mereka. Dengan kata lain, mereka hidup di zona abu-abu ekonomi yang sering tidak terlihat oleh sistem bantuan pendidikan yang ada.

Salah satu hambatan utama adalah asumsi bahwa pekerjaan tetap seperti PNS atau guru honorer otomatis menjamin kesejahteraan keluarga. Padahal, gaji golongan rendah dan guru honorer seringkali minim dan tidak sebanding dengan kebutuhan hidup yang terus bertambah. Potongan gaji, tunjangan yang tidak pasti, dan inflasi membuat banyak keluarga harus berhemat ketat, bahkan berutang demi pendidikan anak. Oleh karena itu, menilai kelayakan beasiswa hanya berdasarkan status pekerjaan orang tua merupakan pendekatan yang kurang tepat dan kurang adil.

Data resmi Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan garis kemiskinan nasional sekitar Rp 550.000 per kapita per bulan. Namun, angka ini tidak memperhitungkan biaya hidup di kota besar yang jauh lebih tinggi, terutama bagi mahasiswa yang harus menanggung biaya kos, makan, transportasi, dan kebutuhan akademik lainnya. Sebagai contoh, biaya hidup mahasiswa di Jakarta bisa mencapai Rp 3 juta hingga Rp 5 juta per bulan, jauh melampaui angka garis kemiskinan tersebut.

Kesenjangan antara data statistik dan realitas ini menjadi salah satu sumber masalah. Data BPS tahun ajaran 2023/2024 memperlihatkan bahwa hanya sekitar 14,5% mahasiswa di perguruan tinggi yang menerima beasiswa, jauh lebih rendah dibandingkan tingkat penerimaan di jenjang SD, SMP, dan SMA yang masing-masing mencapai lebih dari 22%. Mayoritas penerima beasiswa, sekitar 86,9%, berasal dari Program Indonesia Pintar (PIP) yang memang ditujukan untuk keluarga miskin dan rentan. Sisanya berasal dari pemerintah daerah, pusat, dan lembaga non-pemerintah dengan porsi yang sangat kecil. Program beasiswa seperti KIP Kuliah juga secara tegas menyasar kelompok ekonomi terbawah, sehingga anak-anak kelas menengah pas-pasan sering terlewat dari skema bantuan ini.

Halaman: First 1 2 3 Next → Last Show All

Tinggalkan Balasan