TIKAR TUA, DOA BARU
Tikar kita tak dari negeri jauh,
cuma anyaman bambu tua di serambi mushola.
Berdua, kita duduk—
bukan memadu kasih, tapi memadu takbir.

Kau membaca Al-Fatihah,
aku mengaminkan dengan mata basah.
Kita tak perlu cahaya lilin,
karena dari wajahmu, kulihat iman menyala.
Sajadah bukan syarat cinta,
cukup ruang kecil tempat kita kembali.
Tiap rakaat jadi janji baru:
bila cinta tumbuh di hadapan-Nya,
ia tak lekang oleh dunia.
Wonosobo, 2024.
LANGIT YANG PERNAH MENGAJI
Langit pesantren tak tinggi,
tapi cukup untuk menggantung harap.
Ia saksi tak tertulis
atas setiap air mata yang jatuh di atas kitab.
Pernah suatu malam,
angin membalik lembar-lembar kuning bersajak Arab.
Kau mengeja “rahmah”,
aku mencatat maknanya dalam dada.
Kita bukan hanya murid,
tapi gema dari para pecinta ilmu.
Dan langit,
ia terus mengaji bersama kita—
meski kita telah lulus,
dan tak lagi di sini.
Purwokerto, 2024.
MUSIM YANG TAK ADA DI KALENDER
Tak ada gugur daun di halaman kiai,
yang gugur di sana:
ego, angan, dan kemalasan.
Kau bawa sapu bambu,
aku bawa kitab.
Di antara suara ayam dan suara pelajaran nahu,
kita belajar mengerti dunia.
Musim ini,
musim rindu kepada yang tak tampak.
Musim menunggu keberkahan
dari lidah seorang kiai yang tak banyak bicara
tapi doanya menembus langit.
Wonosobo, 2025.
SUBUH YANG MERAHASIAKAN RINDU
Waktu subuh,
udara masih belajar bicara.
Kau di barisan kiri, aku di kanan.
Tak bertukar pandang,
tapi hati saling mengantar salam.
Di sela dua sujud,