Abdurrahman Wahid atau yang akrab disapa Gus Dur, pernah mengatakan, “Agama harus membawa kedamaian, bukan konflik. Kita harus berupaya memahami dan menghormati keberagaman keyakinan”
Namun, bayangkan, bagaimana jika ada sebuah rumah doa berdiri sederhana di tengah pemukiman warga. Bukan megah, bukan mencolok. Tapi fungsinya jelas—tempat orang berdoa, mencari ketenangan, dan mendekatkan diri pada Tuhan. Lalu tiba-tiba, bangunan itu dirusak oleh sekelompok orang.

Apa kira-kira alasannya? Karena dianggap “tidak sesuai izin?” Saya pikir ini tidak cukup dan tidak akan pernah cukup dijadikan alasan. Dan inilah yang terjadi di Padang beberapa waktu lalu. Aksi perusakan sebuah rumah doa milik umat Kristen menambah panjang daftar kasus intoleransi di Indonesia. Dan lebih menyakitkan lagi, kejadian ini berlangsung di tanah Minangkabau—daerah yang selama ini dikenal dengan falsafah hidup yang menjunjung tinggi harmoni antara adat dan agama.
Falsafah “Adat basandi syara’, syara’ basandi Kitabullah” mengajarkan bahwa kehidupan masyarakat Minang harus sejalan dengan nilai agama dan moral. Tapi peristiwa ini justru menunjukkan wajah lain—bahwa nilai-nilai itu bisa memudar di tengah arus kebencian dan fanatisme sempit.
Kasus tersebut bukan sekadar insiden lokal. Ini adalah tanda bahwa toleransi di negeri ini sedang mengalami kemunduran. Bahwa hidup berdampingan yang dulu kita banggakan, kini mulai rapuh, retak oleh prasangka dan sikap eksklusif.
Dalih yang dipakai seringkali teknis: soal izin, administrasi, dan prosedur. Tapi publik tahu, akar masalahnya lebih dalam. Ada ketidaksukaan yang tumbuh karena perbedaan. Ada rasa curiga yang dibentuk dari narasi-narasi keagamaan yang salah arah. Bahkan, tidak jarang, sentimen ini dimanfaatkan oleh pihak tertentu untuk tujuan politik.
Jika dibiarkan, kasus seperti ini bisa menjadi api yang menyebar. Membakar kepercayaan antarumat. Mengikis rasa aman kelompok minoritas. Dan perlahan-lahan, menghancurkan persatuan yang selama ini kita rawat dengan susah payah.
Pemerintah tak bisa tinggal diam. Penegakan hukum harus adil dan tanpa tebang pilih. Tidak cukup hanya menangkap pelaku lapangan, tapi juga menyelidiki siapa yang menyulut api kebencian. Negara harus berdiri di tengah, melindungi semua warganya—tanpa melihat jumlah atau keyakinan.