Menjadi Sunda Muslim atau Muslim Sunda?

Pernah mendengar orang menyebut upacara adat Sunda sebagai musyrik? Atau ngaruat, tradisi membersihkan desa, dianggap sebagai perbuatan syirik? Benarkah adat dan tradisi Sunda bertentangan dengan agama, dalam hal ini Islam?

Sayangnya, dalam beberapa tahun terakhir, anggapan-anggapan semacam ini bermunculan. Ada yang dengan tegas mengharamkan gending karesmen (nyanyian ritual Sunda), menolak sesajen bubur suro, bahkan menyebut tabuik pantun sebagai bidah.

Advertisements

Yang jadi masalah, tuduhan-tuduhan seperti itu tidak datang dari orang yang jauh dari Sunda. Justru, dari orang Sunda sendiri, yang terjebak dalam pemahaman agama secara tekstual sempit. Mereka membaca teks, tapi tidak menelaah konteks. Mereka mengutip dalil, tapi lupa memahami asbabun nuzul-nya. Alih-alih mengkaji lebih dalam, mereka memilih menyederhanakan sesuatu yang sebenarnya kompleks.

Terjebak Pemahaman Tekstual

Kenapa masih banyak orang terjebak dalam pemahaman tekstual yang sempit? Ada banyak hal yang melatarbelakanginya. Pertama, kurangnya akses pada kajian yang mendalam. Ini terjadi karena banyak orang yang belajar agama hanya lewat kultum singkat atau status media sosial. Padahal, memaknai teks keagamaan butuh penguasaan banyak disiplin ilmu, baik memahami ushul fikih, ilmu tafsir, asbabun nuzul, bahkan sejarah. Tanpa semua itu, seseorang dapat terjebak dalam literalisme atau tekstualisme, sebuah pemahaman harfiah tanpa melihat maksud sebenarnya dari suatu ayat.

Kedua, adanya budaya “fatwa cepat” di era digital. Sekarang, fatwa-fatwa atau tausiah keagamaan mudah diakses, tapi juga gampang disalahartikan. Orang bisa langsung share pendapat ulama tanpa memeriksa validitasnya. Jika seorang kiai bilang “jangan ikuti budaya takhayul,” langsung digeneralisasi, padahal mungkin konteksnya berbeda.

Ketiga, masih ada dikotomi agama versus  tradisi yang dipaksakan. Ada pendakian yang ironik, bahwa semakin ‘islami’ seseorang, maka ia harus semakin meninggalkan budayanya. Ini membuat sebagian orang Sunda malu mengakui identitasnya, bahkan sampai meninggalkan bahasa Sunda karena dianggap “kurang islami”. Tragis.

Halaman: First 1 2 3 ... Next → Last Show All

Tinggalkan Balasan