Paradigma sains dan agama, seiring perkembangan zaman, masih terus diperdebatkan dan tak ditemukan titik final penyelarasan. Hanya tumpang tindih argumentasi yang diyakini sebagai kebenaran. Akibatnya, fanatisme pun bermunculan. Pandangan pribadi dianggap sebuah kebenaran. Pandangan orang lain adalah kesalahan. Walhasil, perdamaian yang dicitakan menjadi utopia semu yang tidak pernah kesampaian.
Sayyed Hossein Nasr, sosok ilmuan muslim terkemuka, memiliki pengaruhnya cukup besar dalam perdebatan tersebut. Baginya, antara sains dan agama justru memiliki hubungan erat. Tiada perbedaan garis demarkasi begitu kentara.

Pada hakikatnya, sains adalah pancaran dari Yang Maha Intelek, yang dalam Islam disebut ‘aliman, yakni Dzat Yang Maha Mengetahui (Tuhan). Singkatnya, agama dan sains sama-sama merupakan jalan panjang menuju Tuhan. Keduanya layaknya sebuah doa dan usaha yang meniscayakan untuk selalu berdampingan. Ketika agama tanpa sains berarti itu “bohong”, sementara sains tanpa agama berarti “sombong”.
Melalui buku Scientia Sacra ini, Mahmudi dosen Instika Lancaran, memberikan penawaran gemilang seputar sains dan agama. Menurutnya, garis demarkasi dari keduanya justru muncul dari manusia modern yang memiliki pandangan sains harus lepas dari agama. Ketika sains tetap harus berdampingan dengan agama—dalam pandangan manusia modern—secara tidak langsung akan me-niskala-kan sains yang seharusnya menemukan kebenaran dengan bukti yang konkret lagi nyata. Sementara agama, senantiasa meyakini sesuatu yang metafisik dari pada yang nyata.
Kredo “Aku berpikir maka aku ada”, menurut Mahmudi, merupakan sumber kemunculan garis demarkasi antara sains dan agama. Sebuah pandangan yang lahir dari petuah tua filsuf Prancis, Rene Descartes, yang menjadi napas zaman modern kita. Karena inilah, manusia sebagai titik pusat utama, menggunakan rasio sebagai sumber dari kebenarannya. Sehingga, pada perkembangannya, rasio sebagai titik sentral dalam sains modern mengeliminasi metafisika, yang berabad-abad telah menjadi sumber kebenaran umat beragama. (hlm:xi)
Arus sains modern inilah yang kemudian digugat oleh Nasr dengan formasi sains yang ia tawarkan yang kemudian disebut dengan scientia sacra. Menurutnya, sains justru bermuara dari Tuhan, karena itu tidak seharusnya dipisahkan dari agama. Formasi sains seperti ini yang kemudian merajut kembali hubungan sains dengan Tuhan. Bagi Nasr, seluruh ilmu pengetahuan dapat dijadikan jalan menuju Tuhan. Intinya, ada spiritualitas dalam sains.