Hiruk pikuk modernitas memang sering kali membuat nilai-nilai luhur Pancasila terasa kian jauh, seolah hanya menjadi wacana di buku pelajaran. Tetapi, pada hari Sabtu, 23 Agustus 2025, Pondok Pesantren Tebuireng di Jombang menghidupkan kembali nyala api Pancasila. Sebuah sarasehan dan diskusi buku bertajuk Menggali Api Pancasila karya Ngatawi Al-Zastrouw menjadi wadah untuk menghangatkan kembali komitmen bangsa dalam merawat ideologi pemersatu ini.
Acara yang digagas sebagai puncak perayaan 6 tahun jejaring duniasantri (JDS) ini terlaksana berkat kerja sama dengan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) dan Media Group Tebuireng. Acara ini dihadiri Kepala BPIP Prof. Drs. KH Yudian Wahyudi, M.A., Ph.D., Direktur Pengkajian Implementasi Ideologi Pancasila BPIP Dr. Irene Camelyne Sinaga, Mudir Ma’had Aly Tebuireng Dr. KH Achmad Roziqi, Lc., M. Hi., dan Direktur Media Group Tebuireng Dr. Mohammad Anang Firdaus, S.A, M.Pd. Sarasehan ini diikuti ratusan santri dan mahasantri Tebuireng dan dari pesantren-pesantren wilayah Jombang.

Saat memberikan pidato kunci dan membuka sarasehan, KH Yudian Wahyudi menegaskan peran penting dan strategis dari para kiai, ulama, dan santri dalam berjuang mempertahankan kemerdekaan. “Ini membuktikan bahwa apa yang diperjuangkan oleh para kiai dan santri memiliki hubungan kuat dengan Pancasila,” tegasnya.
Dalam sarasehan yang dimoderatori Nurul Fatchiati ini, terungkap bahwa peran pesantren, khususnya Tebuireng, dalam sejarah kemerdekaan sangatlah penting. Bahkan Kiai Achmad Roziqi, Mudir atau Rektor Ma’had Aly Tebuireng, menekankan kontribusi KH Hasyim Asy’ari dan putranya, KH Wahid Hasyim, seraya berujar, “Kalau tidak ada Tebuireng, belum tentu ada Indonesia.”
Misalnya, jiwa besar KH Wahid Hasyim, yang rela mencabut tujuh kata dalam Piagam Jakarta, menjadi bukti nyata pengorbanan demi persatuan bangsa. Tindakan ini menunjukkan bahwa kaum santri menempatkan kepentingan bersama di atas kepentingan golongan., nilai-nilai luhur Pancasila kerap kali terasa menjauh, seolah hanya menjadi wacana di buku pelajaran.
Pernyataan ini bukanlah hiperbola, melainkan sebuah pengingat akan kontribusi Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari dan putranya, KH Wahid Hasyim. Misalnya, jiwa besar KH Wahid Hasyim, yang rela mencabut tujuh kata dalam Piagam Jakarta, yaitu “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya,” menjadi bukti nyata pengorbanan demi persatuan bangsa.
Tindakan ini, menurut Roziqi, sejalan dengan ajaran Rasulullah SAW dalam Piagam Madinah, yang menunjukkan bahwa kaum santri telah menempatkan kepentingan bersama di atas golongan. Lebih dari itu, santri Tebuireng meyakini bahwa Pancasila bukanlah sekadar teks, melainkan laku, sebuah praktik yang diamalkan dalam kehidupan sehari-hari.
Sejak pertama kali menginjakkan kaki di pesantren, para santri secara tak langsung sudah pancasilais. “Hal itu dikarenakan berkat teladan pendiri pesantren,” ungkapnya. Dengan demikian, Pancasila tidak lagi hanya menjadi sebuah konsep, melainkan sudah terinternalisasi sebagai perilaku.
Meskipun demikian, diskusi ini juga mengungkap pandangan berbeda. Dr. Irene Camelyne Sinaga menyoroti bahwa Pancasila belum sepenuhnya mengakar di kalangan masyarakat. Tantangan dalam menyelaraskan nilai formal negara dengan kearifan lokal masih menjadi pekerjaan rumah yang harus diselesaikan.
Namun, keberhasilan Pancasila dalam menyatukan ribuan suku, bahasa, dan budaya di Indonesia tak dapat dimungkiri. Oleh karena itu, tugas BPIP adalah terus menghidupkan dan mengimplementasikan nilai-nilai luhur Pancasila. “Pancasila tidak boleh berhenti pada wacana, tetapi harus menjelma menjadi sebuah laku yang nyata,” tegasnya.
Penulis buku, Ngatawi Al-Zastrouw, menawarkan beberapa langkah konkret untuk mengimplementasikan Pancasila secara lebih luas. Pertama, pemerintah perlu memfasilitasi pembentukan jejaring antarkomunitas. Ia mengibaratkan pemerintah sebagai bendungan yang mampu menampung berbagai sumber mata air kecil—komunitas-komunitas yang telah aktif—untuk menjadi kekuatan yang utuh dan solid.
Kedua, pemerintah harus memfasilitasi amplifikasi informasi mengenai praktik baik yang dilakukan oleh komunitas. Dengan menyebarluaskan kegiatan seni, budaya, dan gerakan sosial yang sarat nilai Pancasila, diharapkan semakin banyak masyarakat yang terdorong untuk berpartisipasi.
Ketiga, ia menekankan pentingnya bantuan teknis dan material untuk meningkatkan kapasitas komunitas. Bantuan ini dapat berupa pelatihan manajemen atau workshop berkesenian, yang akan membantu komunitas mengelola gerakan mereka secara lebih profesional dan berkelanjutan.
Pada akhirnya, sarasehan ini mengingatkan kita bahwa api Pancasila tak akan padam selama ada tekad untuk terus menyalakannya. Dengan kolaborasi antara pemerintah, pesantren, dan komunitas, api itu akan terus membara, menjadi pilar kokoh bagi persatuan bangsa Indonesia.