Ketika aku belajar menjadi santri, aku tidak pernah membayangkan bahwa pelajaran itu justru akan hadir ketika aku melangkahkan kaki ke sebuah tempat yang sama sekali berbeda dari lingkunganku selama ini: Gereja Paroki St. Antonius Padua Kotabaru, Yogyakarta. Kunjungan ini menjadi perjalanan batin yang membuka mataku tentang makna kemanusiaan, pengabdian, dan ketulusan hati. Di sanalah aku menyadari bahwa menjadi santri bukan hanya soal mengenakan sarung dan belajar kitab di pesantren melainkan tentang bagaimana memanusiakan manusia dan mengabdi kepada Tuhan dengan penuh cinta.
Gereja St. Antonius Padua Kotabaru berdiri megah dengan arsitektur klasik yang memancarkan keteduhan. Saat pertama kali memasuki halaman gereja, aku merasakan suasana yang berbeda. Hening tapi penuh kehidupan.

Ada kehangatan yang menyapa dari setiap sudut bangunan dan dari setiap orang yang kutemui. Mereka tidak mengenalku, namun menyambutku dengan senyum yang tulus. Pada saat itu, hatiku bergetar karena aku menyadari bahwa inilah salah satu wujud nyata memanusiakan manusia, menyambut orang asing dengan cinta tanpa memandang perbedaan.
Aku duduk di bangku kayu panjang, mengamati setiap detail di dalam gereja. Dari altar yang rapi, lilin-lilin yang menyala, hingga patung-patung kudus yang menjadi simbol iman. Ada kesakralan yang kurasakan, sebuah kesungguhan untuk berkhidmat kepada Tuhan.
Aku melihat beberapa frater dan suster berjalan dengan langkah tenang, mengenakan pakaian religius mereka. Mereka tampak sederhana, tetapi dari wajah mereka terpancar kebahagiaan yang mendalam. Dalam hati, aku bertanya, apa yang membuat mereka begitu tenang dan ikhlas? Saat itulah aku merenung, bahwa inti dari pengabdian kepada Tuhan bukan hanya terletak pada ritual, tetapi pada keikhlasan hati untuk melayani tanpa pamrih.
Dalam kunjungan ini, aku berkesempatan berbincang dengan seorang frater muda. Ia menyapaku dengan ramah dan mulai bercerita tentang kesehariannya di seminari. Ia berkata bahwa hidup membiara bukanlah tentang mencari kehormatan atau kenyamanan, tetapi tentang mengosongkan diri agar bisa dipenuhi oleh kasih Tuhan. Kata-kata itu menusuk hatiku.