Di dunia yang terus berubah dengan cepat—baju ganti tren tiap bulan, sepatu berganti warna sesuai musim, dan celana makin banyak modelnya—ada satu benda yang tetap tinggal di hati para santri: sarung.
Bukan hanya sebagai penutup tubuh, tapi sebagai sahabat hidup. Bahkan lebih dari itu, sarung adalah simbol. Simbol kesetiaan, keluwesan, dan kepribadian santri yang tidak mudah goyah meski digoyang zaman.

Coba bayangkan. Berapa banyak celana yang telah sobek dalam hidupmu? Tapi sarung? Mungkin hanya satu-dua yang benar-benar usang. Yang rusak pun bisa digunakan lagi. Ia digantung di ujung ranjang, dijadikan sarung bantal, atau bahkan dijadikan alas salat ketika sajadah sedang dipakai teman.
Saya tumbuh di pesantren yang kamar mandinya bersebelahan dengan dapur, tempat cuci baju menyatu dengan tempat wudhu, dan jalan menuju masjid beralaskan tanah becek jika musim hujan.
Di tempat seperti itu, celana panjang sering mengeluh. Tapi sarung? Ia tetap tenang, ringan, dan tidak rewel. Ia siap dipakai kapan saja, dengan cara apa saja. Mau dilipat jadi pendek untuk main bola, atau dibentangkan lebar untuk tidur siang, sarung selalu bisa diandalkan.
Kesetiaan sarung terlihat dalam diam. Ia tidak seperti celana yang minta disetrika tiap hari. Sarung menerima kekusutan dengan lapang dada. Ia tahu bahwa santri tidak selalu punya waktu untuk menyetrika. Bahkan kadang, santri tidak punya setrika. Tapi sarung tidak marah. Ia tetap dipakai dengan percaya diri, karena yang penting bukan tampil licin, tapi bersih dan suci.
Di pesantren, sarung juga menjadi jembatan antara banyak dunia. Ia bisa masuk ke ruang salat, ke kelas tafsir, ke lapangan bola, bahkan ke dapur. Coba lakukan semua itu dengan celana jeans, dan lihat betapa cepatnya kau kehabisan napas.
Sarung tidak mengenal kasta. Santri baru, santri senior, bahkan kiai besar, semuanya pakai sarung. Ia menyatukan kelas sosial dengan cara yang lembut. Tapi justru di situ letak kebesarannya. Ia tidak perlu menunjuk-nunjuk jati dirinya, karena semua orang sudah paham nilainya.