Isu kesetaraan gender kerap menjadi perbincangan hangat dalam masyarakat Muslim, khususnya di tengah arus modernitas dan gerakan feminisme global. Salah satu titik krusial dalam perdebatan ini adalah bagaimana pandangan para imam mazhab yang menjadi rujukan utama dalam fikih Islam klasik memahami relasi antara laki-laki dan perempuan dalam struktur hukum Islam. Apakah mereka mendukung prinsip kesetaraan gender? Atau sebaliknya, justru memperkuat struktur patriarkal?
Warisan Fikih dan Realitas Sosial

Sebagai gambaran, di kalangan ulama terdapat perbedaan pendapat, apakah kedudukan wali merupakan syarat sah atau tidaknya suatu perkawinan. Pendapat pertama, yang didasarkan kepada riwayat dari Aisyah, mengatakan bahwa “tidak ada nikah tanpa wali” dan wali menjadi syarat sahnya suatu perkawinan.
Imam Syafi’i termasuk yang berpendapat kelompok pertama ini. Dan pendapat ini pula yang mayoritas dianut dan diikuti oleh kebanyakan umat Islam di Indonesia. Bahkan secara legal formal, kedudukan wali ini dimasukkan dalam hukum terapan yang berlaku di lingkungan peradilan di Indonesia yang berisi:
“Wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak untuk menikahkannya.”
Pendapat kedua didukung oleh Abu Hanifah, Zufar, Asy-Syaibi, dan al-Zuhri. Mereka berpendapat bahwa pernikahan dengan tidak ada wali adalah sah jika calon suami sekufu (sebanding).
Terlepas dari adanya perdebatan tentang status wali dalam pernikahan, dalam realitas sosial masyarakat, khususnya di Indonesia, pendapat pertama yang dianut. Oleh karena itu, dalam pembahasan ini penting dikaji lebih kritis terhadap hak atau kewenangan dan atau otoritas yang dimiliki oleh seorang wali yang dalam istilah fikih dikenal dengan hak “ijbâr”.
Hak ijbâr yang dimiliki orang tua atau wali dalam perspektif Islam sesungguhnya tidaklah hak mutlak. Bukan seperti hak veto yang keputusannya tidak
boleh diganggu gugat. Sebab, jika demikian, keberadaan itu wali mujbir, tentu akan bertentangan dengan prinsip ‘kemerdekaan’ dan kebebasan berkehendak bagi perempuan. Padahal, prinsip ini sangat diperhatikan dan dijunjung tinggi dalam Islam, termasuk dalam hal memilih jodoh.
Interpretasi yang kurang proporsional terhadap “hak ijbâr” tersebut merupakan salah satu pintu yang membuka peluang kepada orang tua atau wali untuk berlaku sewenang-wenang terhadap anak perempuan yang akan menikah.