Akhir-akhir ini, jagad media sosial dihebohkan dengan fenomena banjirnya lautan pelamar kerja. Minimnya ketersediaan lapangan kerja, membuat masyarakat ramai berbondong-bondong datang ke sebuah perusahaan yang sedang membuka lowongan, demi bisa mendapat pekerjaan yang diharapkan.
Mirisnya, dari sekian banyak yang mendaftar dan antre untuk melamar pekerjaan, tidak lebih dari 10 persen saja yang nantinya akan lolos dan diterima. Seperti yang terjadi di Job Fair Bekasi Pasti Kerja, ada sekitar 25.000 orang yang melamar pekerjaan. Sedangkan, pekerja yang dibutuhkan hanya sekitar 2000 orang. (Melynda Dwi Puspita, 2025).

Fenomena tersebut sebetulnya bukan hal baru di negara kita. Hal ini disebabkan karena ketidakmampuan pemerintah atau sektor formal dalam menyerap angkatan kerja yang selalu meningkat tiap tahun. Sebagai solusi, kini banyak yang akhirnya memilih bekerja di sektor nonformal, khususnya usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), yang dalam perjalanan bangsa ini telah teruji menyelamatkan ekonomi Indonesia selama puluhan tahun.
Bukti lain dari kondisi lapangan kerja yang tidak baik-baik saja di Indonesia adalah gerakan #kaburajadulu yang belum lama ini menjadi tren yang sangat viral di kalangan anak muda. Sebenarnya hastag tersebut merupakan bentuk ekspresi kekecewaan dan kemuakan rakyat terhadap pemerintah.
Kurangnya lapangan pekerjaan berimplikasi terhadap meningkatnya pengangguran. Jika dibiarkan, kondisi ini akan mengguncang stabilitas ekonomi bangsa ini. Anehnya, meski fakta mencari pekerjaan telah menjadi masalah besar bangsa ini, masyarakat pesantren -yang salaf khususnya- hampir tidak pernah membicarakan dan mempersoalkan isu tersebut, baik di dalam maupun di luar halaqah-halaqah pengajian.
Ternyata memang ada semacam keyakinan yang membuat masyarakat pesantren tidak pernah mengkhawatirkan masalah pekerjaan. Banyak sekali jargon atau dogma, seperti: yang penting mengaji maka rizki kamu akan tercukupi; atau kejarlah akhirat maka dunia akan ikut. Jargon-jargon yang demikian akhirnya mendorong mereka bersikap tidak realistis dan tidak memiliki kesadaran untuk mencari solusi atas masalah tersebut. Mirisnya, doktrin tersebut diterima mentah-mentah tanpa refleksi yang dalam. Pada gilirannya ini akan menjadikan santri terjebak dalam kondisi ekonomi yang stagnan.