Pada tradisi Islam, istilah “Israel” memiliki makna yang spesifik dan terhormat. Nama ini merujuk pada Nabi Ya‘qub ‘alaihissalām, putra Ishaq dan cucu dari Ibrahim, yang disebut secara eksplisit dalam literatur Islam sebagai hamba Allah yang saleh dan penerus misi kenabian.
Salah satu hal yang menarik untuk dikaji adalah bahwa nama “Israel” bukanlah nama yang asing dalam Al-Qur’an. Meskipun, tidak disebutkan secara langsung sebagai nama pribadi dalam narasi tertentu, nama Israel muncul dalam bentuk kolektif “Bani Israil” atau “Anak-anak Israel”. Dalam konteks ini, penafsiran atas istilah tersebut menjadi penting untuk memahami bagaimana Al-Qur’an menyusun narasi identitas profetik sekaligus sejarah sosial keagamaan umat terdahulu.

Dalam Tafsir al-Mishbah, Quraish Shihab menyampaikan bahwa istilah “Israel” berasal dari dua kata: “Isra” yang berarti hamba, dan “El” atau “Ilah” yang berarti Tuhan. Maka, secara harfiah, Israel berarti “Hamba Allah”. Ini merupakan bentuk penamaan yang sarat makna spiritual, menunjukkan derajat kehambaan yang tinggi dari seorang nabi yang termasuk dalam silsilah para rasul agung.
Tafsir ini memperlihatkan bahwa nama tersebut bukan sekadar identitas genealogis, tetapi juga simbol peran kenabian yang luhur. Pemberian nama “Israel” oleh Allah kepada Ya‘qub menunjukkan pengakuan atas pengabdian dan kesalehan beliau, sekaligus menegaskan kedudukan spiritual yang tidak bisa direduksi menjadi sekadar simbol etnis.
Quraish Shihab juga menekankan bahwa ketika Al-Qur’an menyebut “Bani Israil”, yang dimaksud adalah keturunan Ya‘qub yang menerima wahyu dan tuntunan kenabian melalui berbagai rasul. Namun, penting dicatat bahwa Al-Qur’an tidak mengidentifikasi mereka sebagai kelompok yang monolitik.
Dalam banyak ayat, ada pujian terhadap sebagian dari Bani Israil yang taat dan beriman, serta kritik keras terhadap yang membangkang dan melanggar ajaran Tuhan. Oleh karena itu, memahami istilah “Israel” dan turunannya tidak cukup hanya secara historis, tetapi juga secara teologis dan moral.