AKU INGIN HIDUP SETAHUN LAGI
Gemuruh riuh mengempas.
Suara memekik telinga begitu keras.
Musibah dahsyat menebas,
datang tanpa uluk salam dan permisi.

Di atas sana, asap-asap mengepul,
mewarnai birunya langit.
Cairan hitam,
mewarnai beningnya air.
Padahal, padanya hidup makhluk-makhluk
suci tanpa dosa.
Kepulan asap dan cairan hitam berpesta
merayakan kemajuan teknologi.
Mereka berjalan necis,
mengenakan jaz hitam,
dan celana jeans.
Padahal, ia sedang menyandang dosa ekologi.
Dasi mereka merah lambang berani.
Keberanian mereka membunuh diri
tanpa disadari.
Berjalan gagah dan menyopir mobil,
jalan-jalan ke sana kemari.
Tak tahunya, di dasaran sana
ikan-ikan ngerumpi,
ngerasani tingkah manusia elit,
oksigen dalam air semakin sulit.
Konon katanya,
kerajaan ikan berdiri megah.
Rajanya bijaksana,
hidup rakyat ikan sejahtera.
Tapi semenjak bangunan itu kokoh berdiri,
raja ikan risau hendak mengungsi.
“Bumi mana hendak disinggahi?
Sementara tak ada tempat bertepi.”
Anak-anak ikan duluan yang mati.
Ayah dan ibu ikan
sedang mencari tempat aman
untuk hidup berbagi.
Dasar sungai semakin pekat,
sepekat sedih yang melekat.
“Aku ingin hidup setahun lagi,”
teriaknya saat ajal menghampiri.
“Setidaknya aku mati terhormat
bersama sepiring nasi.”
“Akankah setelahku tak ada korban lagi?”
Malang, 15 Februari 2025.
ISAK LANGIT WADAS
Langit tak segan sedih,
melihat tingkah manusia rakus
yang begitu bengis.
“Kami adalah penguasa,
segera menyerah
dan hidup dengan tenang!”
Plak, plak,
tamparan telapak tangan
mendarat pada pipi lusuh
yang tengah menggarap sawah.
Suasana desa menjadi tegang,
penuh tangis dan derai air mata.
Seorang ibu tertunduk