Ada yang bergeser dari wajah tim hadrah pada saat ini. Sebuah tradisi mulia yang dahulu menjadi wadah mahabbah kepada Rasulullah SAW, kini perlahan berubah arah dari ruang spiritual menuju ke ruang euforia. Dari sebuah pujian yang khusyuk, menjadi irama yang memancing tepuk tangan dan joget massal.
Fenomena ini semakin kental terasa di beberapa banyak majelis selawat. Lagu dangdut diubah liriknya menjadi pujian kepada Nabi, lalu diiringi tabuhan rebana dengan gaya koplo. Alhasil, syair selawat yang seharusnya dilantunkan khusyuk, berubah menjadi tabuhan rebana yang bergaya koplo. Di atas panggung, vokalis berselawat. Di bawah panggung, jemaah bersorak dan berjoget. Selawat pun kehilangan ruhnya, dan terseret menjadi sekadar hiburan.

Jika hadrah dengan gaya musik koplo dimainkan dalam konteks acara yang tepat seperti resepsi pernikahan, pentas seni, mungkin masih bisa dimaklumi. Akan tetapi, jika dalam acara seperti Maulid Nabi, haul ulama, atau majelis selawat, hadrah masih disajikan dengan lagu dangdut atau musik koplo yang mengundang orang untuk berjoget, maka patut dipertanyakan. Apakah kita benar-benar sedang memuliakan Nabi, atau sekadar menikmati panggung hiburan yang dibungkus label religius?
Melihat fenomena tersebut, KH Dimyati Ro’is pernah menegaskan, bahwa “Akeh wong sholawatan ning ra kroso sholawat, mung golek rame,” (Banyak orang selawatan tapi tidak merasakan ruh selawat, hanya mencari keramaian).
Hal serupa juga pernah disindir oleh Gus Baha, sebagai berikut: “Kalau kamu bilang cinta Nabi, tapi caramu memperingati Maulid malah joget, ya itu bukan cinta nabi, itu ngeledek.”
Ironis, memang. Hadrah sekarang malah menjadi sebuah ajang pengkultusan sosok. Vokalis yang tampan dan pemain rebana yang stylish kini yang menjadi daya tarik utama. Bukan lagi lantunan selawat yang dirindukan, tapi wajah sang vokalis yang ingin ditatap. Ini bukan fenomena cinta Rasul, tapi jatuh cinta pada penampilan. Tak sedikit yang datang ke majelis bukan untuk menangis karena rindu Nabi, tapi karena ingin melihat vokalis favorit dari barisan depan. Maka tak heran jika hadrah kemudian lebih terasa seperti konser mini daripada majelis ruhani.