Refleksi Hari Anak Nasional dalam Era Digital dan Ketimpangan Akses
Dulu, dunia anak-anak dibentuk oleh permainan sederhana—petak umpet, lompat tali, atau sekadar berlarian di lapangan tanah. Cerita-cerita mengalir dari mulut ke mulut: dongeng rakyat, kisah kepahlawanan, atau hikayat-hikayat penuh makna yang disampaikan dengan ketulusan dari orang tua atau guru. Dunia itu terasa hangat, nyata, dan penuh interaksi antarmanusia. Namun kini, perlahan tapi pasti, pemandangan itu tergeser. Dunia anak-anak lebih banyak dibentuk oleh notifikasi, trending topic, dan layar yang tak pernah benar-benar padam.

Anak-anak generasi sekarang lahir dalam era digital, di mana gawai bukan lagi barang mewah yang hanya dimiliki segelintir orang, melainkan sudah menjadi bagian dari keseharian, bahkan sejak balita. Di sisi terang, teknologi membuka akses informasi yang luas, membantu proses belajar, dan menjembatani jarak. Namun, di sisi gelapnya, dunia digital menyimpan jebakan-jebakan tak kasat mata: dari doomscrolling berkepanjangan, kecanduan konten instan yang mengikis fokus, hingga tekanan sosial karena FOMO (fear of missing out) yang muncul sejak usia sangat muda.
Alih-alih bermain di halaman rumah atau bercengkerama dengan teman sebaya, banyak anak justru tenggelam dalam layar yang dingin. Validasi dicari bukan dari interaksi langsung, melainkan dari jumlah jempol, komentar, atau love merah muda yang terus ditunggu-tunggu. Masa kecil yang dulu diisi oleh tanah dan tawa kini digantikan oleh swipe dan scroll.
Ketimpangan Akses
Meskipun internet tampak merata, pada kenyataannya tidak semua anak mendapatkan akses teknologi yang setara. Menurut Reuters, penetrasi internet di Indonesia pada 2024 mencapai sekitar 79,5%, dengan sekitar 48% anak di bawah usia 12 tahun sudah aktif menggunakan media sosial seperti Facebook, Instagram, dan TikTok. Namun, akses ini tidak tersebar merata. Kominfo dan APJII melaporkan bahwa di daerah rural atau pelosok, sinyal sering lemah, biaya paket data masih mahal, dan perangkat gawai tidak selalu tersedia untuk setiap keluarga. Akibatnya, anak-anak di wilayah ini bisa kehilangan kesempatan belajar daring, mengakses sumber informasi, atau mengikuti perkembangan literasi digital—kesenjangan yang bisa berdampak panjang, dari rendahnya motivasi belajar hingga terbatasnya keterbukaan pikiran.