Filosofi Nampan Santri Ploso

Saban pagi di Pondok Induk Pesantren Al Falah Ploso, Kediri, aroma khas menyebar dari dapur santri. Bukan aroma masakan mewah, melainkan perpaduan sederhana dari nasi, sayur, dan lauk seadanya yang dimasak dalam porsi besar.

Di sudut-sudut pondok, para santri mulai bersiap, bukan untuk mengaji, melainkan untuk mengambil nampan. Bundaran nampan-nampan berukuran besar itu bukan sekadar wadah makanan, melainkan panggung kecil di mana sebuah ritual harian terjadi. Setiap nampan akan diisi untuk lima hingga enam santri, yang kemudian mereka bawa ke tempat masing-masing untuk makan bersama.

https://www.instagram.com/jejaringduniasantri/

Makna Tersembunyi

Dulu, bagi saya, nampan itu adalah simbol kerumitan. Setiap kali waktu makan tiba, saya harus mencari teman-teman satu nampan, memastikan porsi lauk merata, dan terkadang harus mengalah jika ada lauk yang saya suka habis duluan. Terkadang, saya merasa lebih nyaman makan sendiri, tanpa harus memikirkan orang lain. Saya menganggap sebagai rutinitas yang merepotkan dan tidak efisien. Saya berpikir, “Kenapa tidak makan di piring masing-masing saja?”

Waktu terus berjalan, dan saya lulus dari pesantren. Kini, di tengah hiruk pikuk kota, saya hidup sendiri. Makan siang sering kali saya habiskan di depan laptop, dengan piring berisi nasi dan lauk yang hanya cukup untuk saya. Tidak ada lagi pembicaraan riuh, canda tawa, atau saling berebut lauk yang menjadi bagian dari “ritual” makan. Saya mendapati diri saya merindukan saat-saat itu. Di sinilah saya menyadari bahwa nampan santri bukan hanya tentang makanan, tetapi tentang filosofi kebersamaan yang mendalam.

Nampan itu mengajarkan kami untuk berbagi, bahkan dalam porsi yang terbatas. Ia memaksa kami untuk berinteraksi, berdiskusi, dan saling peduli. Jika ada teman yang terlambat, kami akan sisakan porsi terbaik untuknya. Saat ada teman yang kurang suka dengan lauk tertentu, yang lain akan dengan senang hati mengambil porsinya.

Nampan menjadi saksi bisu dari setiap cerita, setiap tawa, dan setiap keluh kesah kami. Ini adalah pelajaran tentang solidaritas yang diajarkan bukan melalui ceramah, melainkan melalui tindakan sederhana setiap hari.

Seperti kata Gus Makmun, “Santri itu hidupnya harus qana’ah (merasa cukup).” Nampan santri adalah wujud nyata dari ajaran itu. Kami diajarkan untuk bersyukur dengan apa yang ada, tidak serakah, dan selalu mengingat bahwa rezeki yang kami terima adalah rezeki yang juga harus dibagikan dengan orang lain. Ini adalah cara pesantren menanamkan nilai-nilai luhur dalam keseharian kami, membentuk karakter yang tidak hanya cerdas secara akademis, tetapi juga kaya akan budi pekerti.

Warisan Kebersamaan yang Abadi

Kini saya paham, nampan santri adalah salah satu cara pesantren membentuk kami menjadi pribadi yang peduli. Nampan itu mengajarkan kami tentang kepemimpinan dalam skala kecil, di mana setiap orang memiliki peran untuk memastikan semua orang kebagian. Ia mengajarkan tentang empati, di mana kami belajar memahami kebutuhan dan perasaan orang lain.

Nampan santri tidak pernah tercatat dalam kurikulum formal, tapi ia adalah pelajaran paling konkret tentang bagaimana membangun sebuah komunitas yang harmonis. Kami tidak hanya makan bersama, tetapi kami juga menanggung rasa lapar dan kenyang bersama. Kami tidak hanya berbagi makanan, tetapi kami juga berbagi cerita dan kehidupan.

Mungkin dengan ini, saya ingin mengenang kembali nampan sederhana itu. Nampan yang mengajarkan saya bahwa kebahagiaan sejati bukanlah tentang porsi yang besar, tetapi tentang kebersamaan yang tak terhingga.

Nampan itu adalah warisan abadi dari tempat kami ditempa, tempat di mana kami belajar bahwa hidup bukan hanya tentang diri sendiri, tetapi tentang orang-orang di sekitar kita. Itu adalah pengingat bahwa di setiap suap yang kami nikmati, selalu ada cerita dan ikatan yang tak pernah putus.

Tinggalkan Balasan