Di tengah riuhnya pasar digital, gegap gempita startup, dan hiruk-pikuk dunia usaha, muncul sosok-sosok muda berkopiah dan bersarung yang diam-diam mulai mengambil bagian. Mereka tak tampil mencolok dengan jas dan dasi, tapi hadir dengan jujur, sederhana, dan penuh keyakinan. Mereka adalah para santri, generasi entrepreneur sarungan yang menggabungkan nilai-nilai pesantren dengan semangat membangun usaha.
Istilah “entrepreneur sarungan” mungkin terdengar baru. Namun sejatinya, ini bukan hal asing. Sejak dahulu, banyak pesantren yang tumbuh bersamaan dengan usaha, seperti pertanian, peternakan, percetakan kitab, bahkan koperasi dan toko kelontong.

Pesantren bukan sekadar tempat mengaji, tapi juga pusat kemandirian ekonomi umat. Santri tidak hanya diajari nahwu dan shorof, tetapi diajarkan juga bagaimana hidup bermartabat, berdikari, dan bermuamalah secara jujur.
Nilai-nilai yang dibangun dalam sistem pendidikan pesantren adalah modal paling besar bagi seorang entrepreneur, yaitu kejujuran, kedisiplinan, ketekunan, kesabaran, dan keberanian mengambil risiko. Santri terbiasa hidup sederhana, bersaing sehat dalam menghafal pelajaran, dan bertanggung jawab terhadap tugas harian. Inilah pembentukan karakter yang tak diajarkan di ruang-ruang seminar motivasi.
Di pesantren, seorang santri bisa bangun pukul tiga pagi untuk tahajud, mencuci baju sendiri, menghafal kitab gundul, hingga tetap mengajar adik kelas. Rutinitas ini bukan beban, melainkan latihan mental yang luar biasa. Ketika santri itu kelak menjadi pengusaha, ia membawa warisan mentalitas ini ke dalam dunia usaha dengan berperilaku jujur dalam transaksi, sabar dan tetap berusaha dalam menghadapi kerugian, dan tidak serakah saat untung.
Hari ini, sudah banyak santri yang menjadi entrepreneur sukses. Data dari Kementerian Koperasi dan UKM (2023) menunjukkan bahwa lebih dari 2.000 pesantren di Indonesia telah menjalankan unit usaha mandiri, dengan jenis usaha mulai dari pertanian, percetakan, fashion muslim, hingga kuliner. Hal ini menunjukkan bahwa pesantren bukan hanya pusat ilmu, tapi juga potensi besar untuk kemandirian ekonomi umat.
Opini bahwa santri hanya bisa ngaji, hidup kolot, dan jauh dari kemajuan teknologi adalah sangat keliru. Santri masa kini tidak hanya membaca Tafsir Jalalain, tetapi juga memahami coding, desain grafis, bahkan digital marketing. Mereka mengaji sambil membangun kanal YouTube dakwah, berjualan produk herbal lewat marketplace, hingga membuat podcast bertema kitab kuning.