Pondok pesantren, sejak masa awalnya, telah menjadi ruang dialektika yang hidup antara tradisi dan nalar. Di balik dinding-dinding surau dan gelaran tikar di bawah cahaya lampu minyak, para santri menekuni kitab kuning bukan hanya sebagai hafalan, tetapi sebagai medan tafakur.
Akan tetapi, dalam realitas intelektualnya, muncul dua poros dominan dalam cara santri memahami dunia: santri empirisis dan santri rasionalis. Keduanya bergerak dalam nalar keislaman yang sama, namun menggunakan pendekatan yang berbeda.

Artikel ini mencoba mengulas pertarungan diam-diam antara keduanya: santri yang mengandalkan pengalaman dan realitas indrawi, dan santri yang menjunjung tinggi akal dan deduksi logis.
Santri Empirisis
Santri empirisis adalah mereka yang menempatkan pengalaman sebagai titik berangkat berpikir. Mereka mendekati teks dan realitas keagamaan dengan pendekatan observasi, interaksi sosial, dan kesaksian inderawi. Dalam istilah John Locke, “the mind is a blank slate“, akal manusia adalah tabula rasa yang diisi oleh pengalaman.