Hari ini, ketika seseorang mengetik kata “tafsir” di mesin pencari, yang muncul bukan lagi sekadar kitab klasik karya al-Ṭabarī, al-Zamakhsharī, atau al-Qurṭubī. Di sana akan tumpah juga potongan video pendek, kutipan Instagram, atau thread panjang di X (dulu Twitter) tentang makna ayat tertentu.
Kini, tafsir telah berpindah ruang dari majelis taklim ke feed media sosial, dari lembaran kertas ke layar ponsel, dari dialog langsung ke algoritma yang membentuk realitas digital kita.

Pertanyaannya, apa yang tersisa dari “tafsir” ketika ia hidup dalam bayang-bayang algoritma?
Al-Qur’an, sebagai kitab yang menyapa zaman dan melampaui batas waktu, pada dasarnya meniscayakan penafsiran yang hidup dan kontekstual. Ibn ʿĀshūr dalam al-Taḥrīr wa al-Tanwīr menjelaskan bahwa Al-Qur’an bukan hanya ditujukan kepada bangsa Arab abad ke-7, tetapi untuk manusia sepanjang masa, dalam ragam situasi dan tantangan zaman. Maka, setiap zaman punya pintu masuk yang berbeda dalam memahami pesan Ilahi.
Namun, ketika tafsir dibentuk dan disebarluaskan melalui logika platform digital, kita berhadapan dengan realitas baru: algoritma. Ia adalah kekuatan tak terlihat yang mengatur apa yang muncul di hadapan kita. Ia tidak mempertimbangkan kedalaman makna, tapi kepadatan klik dan kecepatan tanggapan. Dalam dunia semacam ini, tafsir rentan direduksi menjadi slogan, ayat menjadi stiker, dan pesan Ilahi dibingkai dalam narasi tren.
Padahal, dalam al-Mīzān fī Tafsīr al-Qurʾān, ʿAllāmah Ṭabāṭabā’ī menekankan pentingnya maʿnā al-mutadāmin, yaitu makna yang tersemat dalam konteks yang utuh dan berlapis. Tafsir tidak sekadar membunyikan ayat, tetapi meresapi napasnya, menyelami kedalaman konteksnya. Bagaimana mungkin hal ini terjadi jika pembacaan kita hanya berhenti di satu menit video yang viral, atau hanya membaca ayat yang dikutip sepotong demi menjustifikasi narasi tertentu?