Dari Diskusi Buku Akhir Sang Gajah di Bukit Kupu-kupu

Buku berjudul Akhir Sang Gajah di Bukit Kupu-kupu tidak hanya mengangkat tragedi ekologis, tetapi juga menyuarakan kritik sosial terhadap keserakahan dan hilangnya kearifan lokal.

Penegasan itulah yang mengemuka dalam diskusi buku kumpulan cerpen karya Sasti Gotama Akhir Sang Gajah di Bukit Kupu-kupu di Al-Zastrouw Library, Serua, Depok, Jawa Barat, Sabtu (20/9/2205) sore.

https://www.instagram.com/jejaringduniasantri/

Diskusi buku ini merupakan bagian dari rangkaian kembali menjadi pusat kegiatan Semaan Puisi dan Haul Sastrawan yang akan berlangsung hingga akhir Oktober mendatang.

Diskusi yang dipandu oleh Andy Lesmana dan menghadirkan Mahwi Air Tawar sebagai pembicara utama ini berlangsung dalam suasana hangat. Partisipasi aktif dari masyarakat, pecinta sastra, dan anggota Karang Taruna menunjukkan bahwa acara ini bukan sekadar diskusi buku, melainkan sebuah perayaan akan hidupnya tradisi literasi di tengah masyarakat.

Mahwi Air Tawar mengawali penyampaian materi dengan gaya story telling yang memukau, membuat peserta larut dalam ceritanya. Ia memaparkan latar belakang cerpen Sasti Gotama, yang ditulis sebagai refleksi atas hubungan manusia, alam, dan sejarah. Bukit kupu-kupu tidak hanya berfungsi sebagai latar tempat, melainkan simbol ruang ingatan, konflik, dan harapan yang menyatu.

Dalam cerpen ini, sosok gajah digambarkan sebagai tokoh sentral yang merepresentasikan kekuatan, kebijaksanaan, sekaligus tragedi. Gajah bukan sekadar satwa, tetapi simbol peradaban yang terluka akibat kerusakan ekologis.

Peserta diskusi menilai bahwa kisah ini menghadirkan metafora yang kuat, di mana gajah menjadi cermin perjalanan manusia itu sendiri—agung, tetapi juga rapuh.

Alur cerita yang bergerak lambat namun penuh intensitas dianggap menambah kedalaman diskusi. Narasi yang mengikuti langkah gajah menciptakan pengalaman mendalam bagi pembaca. Akhir cerita yang tragis dipandang bukan hanya menyedihkan, tetapi juga membuka ruang refleksi tentang keterhubungan manusia dengan makhluk hidup lain.

Gaya bahasa Sasti Gotama turut menjadi sorotan. Kalimat-kalimatnya disebut mengalir seperti mantera dengan kekuatan puitis yang mampu mengguncang batin. Simbolisme kupu-kupu ditafsirkan sebagai lambang kefanaan dan keindahan yang rapuh, sedangkan gajah menjadi saksi bisu perjalanan sejarah manusia. Nuansa bahasa yang kaya membuat cerpen ini menjadi sebuah pengalaman estetik dan kontemplatif.

Halaman: 1 2 Show All

Tinggalkan Balasan