Citra Dai di Era Digital

Di era digital saat ini, siapa pun bisa tampil menjadi apa pun di media sosial. Tak terkecuali menjadi seorang dai. Cukup bermodal kamera, aplikasi edit, dan sedikit kemampuan berbicara, seseorang sudah bisa menyampaikan ceramah atau pesan-pesan agama ke publik. Dan dalam sekejap ia sudah dikenal sebagai dai. Pendakwah.

Namun, di balik kemudahan itu, muncul persoalan serius yang patut kita renungkan bersama: mengapa citra dai di media sosial semakin dipandang sebelah mata oleh sebagian netizen?

Advertisements

Salah satu penyebab utamanya adalah munculnya oknum-oknum konten kreator yang menampilkan diri sebagai dai. Mereka tampil dengan cara yang nyeleneh, tidak sesuai dengan adab dakwah, bahkan cenderung mengandung unsur komersial semata.

Media sosial yang seharusnya menjadi sarana menyebarkan nilai-nilai Islam yang mencerahkan, justru disalahgunakan sebagai ladang bisnis dan ajang eksistensi pribadi. Fenomena ini membuat banyak orang mulai meragukan keikhlasan dan kebenaran dari pesan-pesan agama yang disampaikan oleh para da’i di media sosial.

Tak heran jika muncul peringatan populer seperti, “Bijaklah dalam bermedia sosial.” Kalimat itu bukan sekadar slogan, tapi menjadi peringatan penting bagi kita agar tidak menelan mentah-mentah setiap konten dakwah yang kita lihat. Tidak semua yang berlabel “dakwah” di media sosial benar-benar berdiri di atas kaidah syariat yang sahih. Maka dari itu, sangat penting bagi kita untuk tabayyun—mencari tahu terlebih dahulu kebenarannya, apalagi di zaman yang serba cepat dan penuh rekayasa digital seperti sekarang.

Teknologi yang semakin canggih bukan hanya membawa kemudahan, tapi juga ancaman. Algoritma media sosial bekerja bukan berdasarkan kebenaran, tetapi berdasarkan apa yang ramai ditonton dan disukai. Akibatnya, tidak sedikit konten yang sengaja dibuat provokatif atau sensasional demi mendapatkan views, followers, dan popularitas. Dalam dunia seperti ini, siapa pun bisa terlihat “alim” jika pintar bermain kamera dan narasi.

Di sinilah pentingnya ilmu komunikasi. Bagaimana seseorang menyampaikan pesan sangat memengaruhi kepercayaan publik. Sayangnya, tidak semua orang memahami ilmu ini secara utuh. Tidak semua netizen tahu bagaimana cara membedakan antara pesan yang informatif, manipulatif, atau bahkan menyesatkan. Terlebih lagi, tidak semua orang memiliki latar belakang dalam ilmu dakwah atau agama. Masyarakat awam yang hanya menerima informasi secara sepintas bisa dengan mudah mempercayai apa yang disampaikan, tanpa menyadari apakah pesan tersebut benar atau justru menyesatkan.

Halaman: 1 2 Show All

Tinggalkan Balasan