Sebagai umat beragama, semestinya manusia menjunjung tinggi sikap toleransi dan mementingkan nilai kemanusiaan. Karena ialah yang menjadi agen kerukunan antarumat beragama.
Berbagai konflik yang disebabkan oleh agama -dan selainnya- selalu mengancam kehidupan berbangsa dan bernegara. Padahal esensi dari manusia beragama adalah hidup dengan norma agama dan saling mengasihi umat agama selainnya. Ajaran agama -apapun- jika ditelisik lebih dalam, bersubstansi ajakan untuk memanusiakan manusia.

Maka berislam dengan santun merupakan salah satu solusi untuk meredam konflik yang mengancam. Kata “santun” berasal dari bahasa Sansekerta “shanta” yang berarti tenang, damai, dan sejuk.
Dalam konteks budaya Indonesia, santun dimaknai sebagai sikap hormat, ramah, dan sopan dalam bertutur kata, bersikap, dan berperilaku terhadap orang lain. Sikap umat beragama seperti ini yang dibutuhkan masyarakat plural seperti Indonesia.
Buku ini adalah karangan teman-teman penulis dari Pengurus Cabang Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (PC ISNU) Ponorogo, badan otonom Nahdlatul Ulama yang berfokus pada para sarjana dan kaum intelektual. Tipe buku ini berbentuk esai ringan yang mulanya adalah artikel populer yang termuat di media-media online, kemudian dikumpulkan dan dibukukan.
Buku Nalar Kritis Keberagaman ini mengajak kita untuk membangun nalar kritis keberagaman, mengokohkan nasionalisme, dan menguatkan literasi.
Dalam salah satu tulisannya, Dr Abid Rohmanu membagi nalar menjadi dua, yaitu nalar privat dan nalar publik keberagaman. Kedua nalar ini adalah formula untuk menyampaikan pemahaman agama dengan menyesuaikan kelompok sasaran.
Nalar privat terbatas pada skala komunitas atau kelompok keagamaan tertentu. Sementara, nalar pubik keberagaman dihadirkan ke publik secara rasional agar dapat diterima semua kalangan. Sudut pandang yang diterapkan tidak melulu agama. Banyak alternatif lainnya seperti ilmu-ilmu sosial, filsafat, dan historis.
Pemikir politik dan moral Amerika, John Rawls, mengungkapkan bahwa agama, meskipun menjadi bagian penting dalam kehidupan pribadi, mestinya tunduk pada “public reason” (nalar publik). Maksudnya, agama dalam aspek apapun yang ditampilkan publik harus selaras dengan nalar publik, rasional, dan bisa diterima oleh semua kalangan.