Berbagi Ruang dengan Hantu

1,061 kali dibaca

Saya pernah menuliskannya. Dan saya merasa perlu menuliskannya sekali lagi. Sepanjang sejarah peradaban manusia, pandemi menjadi tangan Tuhan untuk membuka topeng manusia. Dengan pandemi, semakin terbukalah wajah-wajah asli kita sebagai manusia.

Itulah muatan yang terkandung dalam https://www.duniasantri.co/corona-dan-siapa-kita/. Pandemi Corona ini kita baca melalui pendekatan Sampar atau La Peste, novel karya filsuf eksistensialis Albert Camus. Novel itu menyuguhkan karakter-karakter asli manusia selama wabah pes menyerang Kota Oran. Persis seperti Corona menyerang Bumi dua tahun ini.

Advertisements

Ini bukan pandemi pertama. Dan sejarah mencatat, dunia sudah beberapa kali mengalami pandemi global yang begitu mematikan. Dari sejarah pandemi-pandemi di masa lalu itu, setidaknya kita tahu dual hal.

Pertama, tak ada bangsa yang mampu dan menang berperang, dengan cara menyerang, melawan pandemi. Kedua, seperti yang tergambar dalam Sampar, pandemi selalu menelanjangi wajah dan karakter-karakter asli manusia. Dan yang kedua akan mengaburkan yang pertama.

Untuk yang pertama, ketika tak ada yang menang berperang melawan pandemi, maka yang bisa dilakukan hanyalah menghindar atau bersiasat untuk memperkercil jumlah korban jiwa atau menghindar agar tidak menjadi korban. Itulah kenapa akhirnya sudah ada negara yang mencoba untuk berdamai dan hidup berdampingan dengan Covid-19.

Virus dan sistem kerjanya sudah teridentifikasi dengan baik. Vaksin atau anti-virusnya sudah tersedia meskipun tidak bisa memberikan jaminan seratus persen kita akan kebal terhadap serangannya. Itulah kenapa akhirnya muncul protokol kesehatan, bukan untuk menyerang dan melawan virusnya, tapi justru untuk menghindar dari paparannya.

Sesederhana itukah? Sesungguhnya, ya. Tapi, hal kedua-lah yang memperburuk situasi dan menjadikan pandemi sebagai masalah yang semakin rumit. Ketika wabah mengupas topeng dan membuka wajah asli kita. Ketika pandemi menelanjangi dan mempertontonkan karakter-karakter asli kita.

Hari-hari ini, misalnya, di sekitar kita, kita masih melihat apa yang digambarkan dalam Sampar. Orang-orang masih abai pada gejala kematian, pada gejala yang mematikan, seperti warga Oran melengos saat ada tikus mati di pinggir jalan. Dan tanpa disadari, di antara kita akhirnya menjadi pengantar kematian bagi orang-orang terdekat, bagi semakin banyak orang.

Hari-hari ini, kita juga melihat tokoh-tokoh dalam Sampar bermunculan di mana-mana. Orang-orang menjadikan wabah sebagai bahan olok-olok, lalu diubah menjadi virus kebencian, dan ditembakkan ke segala arah. Pandemi berubah menjadi kayu bakar bagi api kebencian yang makin mengobar.

Begitulah kemudian Sampar bercerita kepada kita, bahwa adakalanya pandemi atau wabah berubah menjadi pasar tempat orang berburu rente, menjadi mimbar tempat orang mengkhutbahkan ketololan dan kepalsuan, menjadi palagan bagi orang-orang yang doyan berebut kekuasaan.

Tapi dari sana —entah kalau dari sini—  tak ada cerita tentang orang menekur; mungkin rem Tuhan sedang bekerja.

Ya, sesungguhnya itulah protokol kesehatan dalam menghadapi pandemi ini. Ia seperti rem Tuhan. Mungkin kita, manusia, terlalu cepat melaju untuk mengejar masa depan. Dan tak sadar di depan ada tikungan tajam. Jika tuas rem tak ditarik, kita akan terpelanting, dan hancur menjadi reruntuk peradaban. Manusia yang congkak ini tak sudi menarik tuas rem, dan Tuhan yang melakukannya.

Sudah pasti rem itu tak dimaksudkan untuk menghentikan laju peradaban manusia. Mungkin agar kita berhenti sejenak atau sekadar mengurangi kecepatan laju peradaban —karena kita sudah melaju terlalu cepat melampaui zamannya.

Itulah memang yang terjadi ketika kita menaati protokol kesehatan. Kita hanya harus mengurangi mobilitas dan aktivitas. Mungkin kita jarang keluar rumah. Mungkin kita tak lagi ke kantor. Mungkin kita tal lagi leluasa berbisnis. Mungkin kita tak lagi leluasa beribadah di masjid atau gereja atau kelenteng atau pura. Mungkin kantung kita akan kembang-kempis. Mungkin keuntungan kita akan menipis dan bisa jadi malah merugi. Tapi tak selamanya, dan benar-benar hanya sementara.

Tapi begitulah, memang, sejarah mengajari kita bagaimana seharusnya manusia menghadapi pandemi. Sama seperti kearifan leluhur kita zaman dulu, yang sudi berbagi ruang dengan hantu. Ia memang menakutkan. Tapi mereka dapat hidup bersisihan, berbagi ruang. Itulah mungkin yang dimaksud hidup berdamai dengan pandemi. Bukan malah sebaliknya, hidup dengan menunggangi pandemi.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan