BALADA MINANGKABAU
Rumah gadang sembilan ruang
Pamenan hati gadis pejuang
Bukan parang yang menerjang
Tapi sulaman ilmu tak lekang

Rumah gadang sembilan ruang
Simbol gagah pemuda Minang
Bukan tangan yang merajang
Namun akal pikir terang
Rumah gadang sembilan ruang
Bilik peradaban tertimbang
Bukan tonggaknya yang goyang
Budi pekertilah yang merenggang
Rumah gadang sembilan ruang
Rahim budaya yang nyaris hilang
Bukan gonjongnya tak menjulang
Namun arif yang hampir melayang
Bukittinggi, 20 Desember 2021.
RATAPAN BUNDO
Telah lapuk adat bersendikan syarak
Telah remuk syarak bermandikan arak
Di ujung gelak bundo menelan sabak
Bujang dan gadisnya sudah hilang jejak
Alam takambang tak lagi jadi guru
Bujang dan gadis beralih candu
Malam dan pagi bercumbu semu
Tergerus zaman perlahan layu
Jam gadang pun tak lagi gadang
Tersebab waktu mengulumnya lekang
Gadis dan bujang hilang cemerlang
Tersebab pedoman tak lagi dipandang
MARI KE TAMAN KERINDUAN
Mari ke taman kerinduan, wahai jiwa yang resah
Di mana kuntum cinta merekah tanpa lelah
Bukan di mimbar yang tinggi kebenaran terungkap
Tapi di antara kelopak hati yang resah penuh harap
Di jalan setapak yang berliku Kasih-Nya hadir
Memeluk dan merayap ke mudik dan hilir
Menyapa jiwa papa yang kehilangan tuannya
Tiada kidung tawa, hanya dendang sukma yang tersisa
Beberapa insan berbisik
Tuhan tak pernah hadir menelisik
Ia sibuk di singgasana tinggi tak terusik
Sedang siang malam insan ini diberi-Nya kasih
Tanpa pilah-pilih.
Diantara helai nestapa yang mendera
Cinta-Nya menjelma rumah persinggahan
Tiada yang bermukim lama
Selain hati yang terpaut pada tiang-Nya
Mari ke taman kerinduan, Wahai hati yang gersang
Kuntum makrifat akan mendekap ragamu yang lekang
Lepaskan jubahmu yang mulai lusuh
Sebab pakaian iman telah memilih warna yang teduh
Bukan lagi dunia yang menuntunmu pulang
Tapi hakikat Tuhan yang mendendang sayang
Dalam jarak pandangmu yang terbatas
Rindu-Nya mengalir amat deras
Di taman kerinduan ini
Perjumpaanmu tak lagi berbalas sepi
Sebentar lagi suara Haqq akan mengiringi:
“Selamat datang ke pelukan, hambaKu paling berbudi”
KALAM KOLAM
Pagi lebih ramai dari biasanya
Setelah kelompok camar menabur puisi di ranting cemara
Kata-kata berderai di kolam
Yang belum bersih lumutnya
Yang masih hijau airnya
Dengan tabah kata-kata berenang
Berpacu di sela ikan mencari makan
Kata-kata kehilangan rasa
Ikan-ikan kehilangan rona
Di pucuk pokok Tuhan berkalam:
“Pagi yang puisi”
SABDA MAKAM
Kepada jiwa muram
Carilah isyarat kematian
Pada tanah kearifan
Yang harumnya menutur Surga
Yang nisannya mengisah Baka
Kelak bila masamu tiba
Tiada yang layak mencinta
Sedalam Zat Sang Maha
Tulungagung, 13 Juli 2025.
MABUK URBAN
Wahai, indahnya bersulang
Menyeruput oplosan kemakmuran
dari ladang pengangguran
Wahai, syahdunya berputar
Berkeliling dengan becak
yang dikayuh kaki pengkerdilan
Wahai, candunya bersiul
Menonton tarian massal
dari pemilik ketiadaan
Wahai, kemiskinan
Hadirlah lebih lama
di kolong jembatan
Hiduplah di antara
bayang bangunan
Tiada yang mampu
mencintaimu lebih dalam
Melebihi umat yang khusyuk
dibungkam diam
Malang, 10 Juni 2025.
Sumber ilustrasi: pinterest.