Dulu, jika ditanya tentang cita-cita, anak-anak akan menjawab jadi dokter, insinyur, atau guru. Tapi, anak-anak zaman now, atau Gen Z, tak lagi tertarik dengan profesi tersebut. Bahkan di usia belum genap sepuluh tahun, mereka sudah punya impian untuk menjadi TikToker, YouTuber, atau selebgram.
Profesi-profesi itu, yang dulu dipandang sebelah mata karena dianggap tak jelas arah kariernya, kini menjelma jadi cita-cita utama para bocil (sebutan anak-anak kecil) di era digital. Bukan hanya di ruang kelas, tapi juga di rumah, di taman bermain, bahkan saat berkumpul keluarga, kata “jadi influencer” terdengar semakin biasa, seolah menjadi bagian wajar dari mimpi masa kecil.

Namun, di balik tren ini, ada realitas yang jauh lebih kompleks. Platform media sosial memang memberi ruang berekspresi yang luas, tapi juga membuka celah eksploitasi yang nyaris tak terasa. Di banyak kasus, anak-anak belum benar-benar memahami dampak dari menjadi pusat perhatian digital. Mereka hanya melihat kilau ketenaran, bukan tekanan, tuntutan, dan risiko psikologis yang datang bersamanya.
Artikel ini mengajak kita menyelami lebih dalam: ketika anak-anak mulai tumbuh di bawah sorotan kamera dan algoritma, generasi apakah yang sebenarnya sedang kita bentuk hari ini?
Menurut survei Pew Research Center, lebih dari 54% remaja berusia 13-17 tahun di negara-negara Barat menyatakan ingin menjadi influencer sebagai pekerjaan utama. Di Indonesia, survei serupa juga menunjukkan bahwa profesi seperti TikToker, YouTuber, dan Streamer menempati tiga besar impian anak-anak. Fenomena ini bukan sekadar tren sesaat, melainkan cermin perubahan zaman yang perlu kita sikapi dengan serius.
Di satu sisi, media digital memang memberi ruang yang luas bagi anak muda untuk mengekspresikan diri. Namun, di sisi lain, jika menjadi influencer dipahami sebagai jalan pintas menuju ketenaran dan uang cepat, kita patut bertanya: apakah ini benar-benar bentuk eksplorasi potensi, atau justru bentuk baru dari tekanan sosial yang lebih halus tapi menjebak?