Tragedi Informasi dalam Era Doom Scrolling

[jp_post_view]

Di masa lalu, ketika seseorang ingin memahami sesuatu, ia harus mencarinya. Ia membuka buku, bertanya pada mereka yang lebih tahu, atau menyepi dalam renungan untuk menemukan makna. Prosesnya penuh kesadaran, penuh jeda, dan penuh usaha. Hari ini, semuanya berubah. Dengan satu gerakan jari, informasi menyerbu. Kita tak lagi menjadi pemburu makna. Kini, makna datang sendiri—tak diundang, tak terbendung, dan seringkali, tak dibutuhkan.

Inilah wajah dunia digital hari ini, dunia yang dikuasai oleh teknologi bernama doom scrolling. Aktivitas menggulir layar yang tak berujung ini tampak remeh, namun dalam diam, ia mengubah cara manusia memperlakukan informasi. Kita tidak lagi memilih informasi; kita diberi. Kita tidak lagi ingin tahu sesuatu; kita dibanjiri segalanya.

Advertisements

Tumbangnya Otonomi Intelektual

Awalnya, istilah “doom scrolling” mencuat saat pandemi melanda. Orang-orang terjebak dalam pusaran berita buruk yang terus-menerus diperbarui. Namun hari ini, istilah itu mencakup lebih luas: ia menjelma menjadi kebiasaan menggulir layar tanpa henti, tanpa niat, tanpa tujuan. Platform digital telah dirancang agar kita terus bertahan, tertawan, dan tersedot masuk. Jika dulu kita masuk ke dunia maya untuk menemukan sesuatu, kini kita justru tertarik masuk karena dunia itu terus menggoda dengan suguhan yang tak habis-habis.

Yang terjadi bukan lagi proses mencari, tapi semacam pasrah menerima. Dahulu, informasi adalah sesuatu yang datang setelah kita mencarinya dengan kesadaran penuh. Kini, informasi muncul lebih cepat dari kesadaran itu sendiri. Ia datang bahkan sebelum kita menyadari bahwa kita ingin tahu. Dan lebih sering, ia datang dalam bentuk yang tidak kita perlukan sama sekali. Maka peran aktif manusia sebagai pencari berubah total. Dari pemilik kendali menjadi penonton pasif di panggung algoritma.

Tekanan Psikologis

Dari kacamata psikologi, doom scrolling memicu krisis. Gejala cemas meningkat, perhatian mudah tercerai berai, dan lelah mental menjadi hal biasa. Otak yang sejatinya dirancang untuk fokus dan jeda, kini dipaksa berjaga tanpa henti. Setiap geser layar menghadirkan dunia baru, cerita baru, emosi baru dan semua itu datang silih berganti tanpa sempat kita cerna.

Halaman: First 1 2 3 Next → Last Show All

Tinggalkan Balasan