Kegelisahan, kecemasan, dan kebimbangan manusia modern dalam “mencari” Tuhan, barangkali bukan sesuatu yang baru. Bahwa manusia modern dikenali dari kodratnya yang gelisah dan penuh ketidak-pastian, sudah banyak dibahas, bahkan oleh pemikir-pemikir terdepan, seperti Anthony Giddens, yang mengatakan bahwa fenomenologi modernitas tidak lain adalah “rasa aman ontologis yang dibarengi dengan kegelisahan eksistensial”. Merasa aman secara sosial, namun gelisah sebagai individu. Termasuk berkenaan dengan “Tuhan”, yang tak henti-hentinya disiasati oleh manusia modern dengan berbagai jalan, mulai dari filsafat, seni, meditasi, sampai okultisme. Manusia modern sebagai individu adalah makhluk yang gelisah mencari jalan menuju Tuhan.
Demikianlah, hingga saya sampai di Kampung Naga, yang berlokasi di Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat, berjarak sekitar 32 km dari kota Tasikmalaya. Sebuah desa asri yang berposisi di lembah, sehingga kita harus menapaki anak tangga menurun yang lumayan “menantang” bagi betis-betis modern yang jarang naik-turun gunung atau lembah curam.

Warga umumnya memeluk agama Islam, tetapi dengan tetap melestarikan adat istiadat nenek moyang. Kampung Naga pada gilirannya menjadi salah satu “desa wisata” yang kerap dikunjungi orang, untuk menikmati kesegaran alam dan serba-serbi kehidupan perdesaan yang sedikit berbeda dengan di kota.
Jalan Ketuhanan orang Kampung Naga adalah jalan kepasrahan. Berbeda dengan manusia modern yang terus-menerus ingin “menyiasati” Tuhan, tradisi Kampung Naga justru mengajarkan sebaliknya. Bagi mereka, Tuhan dan nilai-nilai Ketuhanan adalah bagian dari kehidupan itu sendiri, bagian dari keseharian, yang bahkan bisa dikatakan menghidupi setiap tarikan napas. Tuhan tidak perlu disiasati atau dicari, karena Dia ada dalam setiap gerak hidup dan kehidupan, termasuk pada manusia dan alam yang melingkupi di sekitarnya. Sayangnya, kita manusia modern sudah terlalu lama mengabaikan-Nya. Itulah yang saya rasakan ketika berkunjung dan bersilahturahmi dengan mereka.
Kontras antara kegelisahan manusia modern dengan kepasrahan orang Kampung Naga, menurut saya sangat menarik. Kampung Naga adalah gambaran bumi Nusantara sebelum “invasi” modernitas menyentuhnya. Saya merasa seakan-akan mengenali suasana rumah mereka seperti rumah saya sendiri, nun di pedalaman Riau sana. Teduh dan tenang.