Dulu, pesantren adalah tempat sembunyi. Tempat orang menata ulang hidup. Diam-diam. Tidak bising. Tidak viral. Tidak masuk media. Sekarang, justru dunia yang mencarinya.
Bank Indonesia, lembaga yang biasanya sibuk dengan suku bunga, GWM, dan inflasi, tiba-tiba masuk ke pesantren. Bukan untuk ceramah. Tapi untuk mendengar. Sesuatu yang jarang dilakukan lembaga negara kita: mendengar sebelum membuat program.

Dan mereka menemukan sesuatu yang mengejutkan: ekonomi rakyat tidak sedang mati. Ia hanya berpakaian sarung dan tinggal di bangunan kayu.
Tugas BI sejatinya jaga rupiah. Tapi rupiah rupanya tidak cukup kalau rakyatnya tidak percaya. Maka, sekarang mereka bicara soal keuangan inklusif, ekonomi syariah, dan digitalisasi akar rumput. Mereka tidak datang dengan kemeja necis dan brosur penuh jargon. Mereka datang ke pesantren. Ke tempat yang kadang listriknya mati. Tapi, semangatnya hidup.
Kekuatan
Pesantren kini bukan sekadar tempat mengaji. Tapi juga peternak ayam. Petani sayur. Pengusaha batik. Dan, jangan kaget, pengguna QRIS!
Lebih dari 30 ribu pesantren tersebar di Indonesia. Itu bukan angka. Itu jaringan ekonomi. Satu pesantren bisa menghidupi 3 hingga 5 desa. Tapi, selama ini mereka nyaris tak dianggap dalam peta ekonomi nasional. Literasi keuangan syariah kita? 8 persen. Kontribusi ekonomi syariah ke PDB? Hampir 10 persen. Ada paradoks di situ. Uangnya besar. Pemahaman rakyatnya kecil.
Dan yang bisa menjembatani itu bukan YouTuber. Bukan selebritas syariah. Tapi kiai kampung dan santri yang sudah dipercaya warga sejak bayi. Santri bisa jadi duta. Tapi bukan duta selfie. Mereka menyebarkan makna kejujuran ekonomi. Tentang berdagang tanpa tipu. Tentang untung yang tidak memeras. Tentang usaha yang tidak meninggalkan salat.
Lalu, apa yang dilakukan negara? Banyak. Tapi tidak semua tepat.
BI sudah meluncurkan Sharia Investment Account, digitalisasi pesantren, hingga kurikulum ekonomi syariah. Pemerintah bikin pilot project dan pelatihan. Kemenag memetakan 100 pesantren ekonomi unggulan.