Ada satu rahasia yang disembunyikan oleh waktu, ia tidak bergerak maju tidak pula mundur. Ia meringkuk di rahim seorang perempuan, dan bergetar lembut setiap kali namanya disebut: “Ibu”
Ketika bumi pertama kali menunduk kepada langit, dan angin bersujud kepada debu, Tuhan mengutus satu fragmen kecil dari surga, disisipkan di antara tulang-tulang rapuh seorang manusia. Ia bukan nabi, bukan malaikat. Ia hanya Ibu. Tapi dunia yang begitu pongah dan kelam lupa, bahwa dari rahimnya dilahirkan prosa dan dari peluknya ditanamkan cahaya.

Aku, seorang anak hancur oleh gemuruh kehidupan menemukan bahwa kehancuran bukanlah akhir, ia pintu menuju pelukan yang tak terdefinisikan oleh bahasa. Saat aku terjatuh ke titik terendah, bukan langit yang meraihku, tapi tangan-tangan yang pernah menyuapiku bubur di sore hari. Ia tak bersayap, tapi mampu mengangkatku melebihi malaikat. Ia tak bersuara keras, namun gema doanya lebih mengguncang takdir daripada teriakan siapa pun.
Ibu, dalam keheningannya, adalah simfoni dari waktu yang tak pernah berhenti berdetak. Ia menyulam pagi dari air mata, menenun malam dari luka yang ia sembunyikan di balik senyum. Dunia menyebutnya lemah, tapi tahukah kau? Gunung pun runtuh oleh waktu, sementara Ibu berdiri, menopang semesta di pundaknya yang kecil.
Aku pernah membenci dunia. Pernah ingin lenyap dari segalanya. Tapi bayangan tubuh renta itu, yang menungguku pulang di ambang pintu tanpa kata, menjadi jembatan antara kehampaan dan keinginan untuk hidup. Ia tak pernah bertanya kenapa aku hancur. Ia hanya mengusap rambutku seperti waktu mengusap luka pada sejarah.
Ibu bukan hanya perempuan yang melahirkan. Ia adalah dimensi lain dari Tuhan yang turun dengan bentuk paling ringkih, agar kita tahu: cinta sejati tidak pernah memaksa untuk dikenali. Ia hadir dalam diam. Dalam masakan yang selalu lebih hangat dari musim. Dalam panggilan di malam buta yang terdengar sepele, tapi menyelamatkan dari kehancuran.