ANAK-ANAK DAN PEREMPUAN YANG MENJERIT DI SEPANJANG JALAN
Miniatur surga; semesta harusnya penuh belas menatap iba anak-anak yang dipaksa dewasa
memungut perih-pahit hidup seolah telah berusia matang.
Barangkali, para orang tua keliru berhitung tentang usia,
atau keliru memahami arti tatap anak-anaknya.
Sementara semesta kian pongah, anak-anak bertopeng lengah menari di sepanjang jalan menuju pendewasaan yang prematur.
Perempuan mengemis panggung, hendak berdaya dan memaknai merah-putih dalam debar yang mengakar. Namun yang terjadi adalah kompetisi sesama perempuan justru penuh siasat; saling manjatuhkan, seolah sedang berlomba panjat pinang di momen sesakral peringatan kemerdekaan.
Perempuan terbelenggu pada harap yang besar, dan keterbatasan yang mencekat; beberapa memang selaksa manusia tanpa nurani, berharap melestarikan perbudakan demi membuncitkan perut sendiri. Menumpuk rupiah dari hasil menjepit perempuan dalam strata sosial, mengusung gender sebagai tajuk penuh kontroversi;
dimanfaatkan menjadi ladang penghasilan.
Miris sekali. Surga yang seharusnya dijumpai pada tawa anak-anak dan senyum perempuan
justru menjelma lolongan kesedihan, meski ternyata adalah kesenangan bagi manusia keparat yang lupa melihat manusia lainnya.
Atau barangkali memang sengaja pura-pura tidak melihat.
Lalu anak-anak, menjadi sasaran empuk konglomerat tamak meringkus penghasilan,
sementara perempuan, menjadi surga mereka di atas ranjang;
diperbudaklah perempuan dalam ketidakberdayaannya.
Kemerdekaan, mungkin menjadi satu-satunya kata yang maknanya telah bergeser dan berbalik arah.
PEREMPUAN (API) YANG MENGGIGIL KEDINGINAN
Konon, ada api di tubuh perempuan; panasnya adalah lelehan api neraka.
; selangkangannya menjadi tabu diperbincangkan, namun dahsyat menjadi taruhan para pemabuk di meja dinasnya.
Konon, ada surga di senyum perempuan; dengan lekat tatap seumpama bidadari yang menawan
; tatap yang indah, namun acapkali menjerat iblis penuh berahi.
Konon, perempuan adalah paduan surga dan neraka;
Antara panas yang kedinginan,
atau dingin yang kepanasan.
ANAK-ANAK YANG MENGEMIS HARAPAN
Di sepanjang jalan, anak-anak menjadi kesedihan,
tawanya mengemis harapan; menaruh ‘ingin’ tepat di tengadah kedua tangan mungilnya.
Di sepanjang jalan, hilir mudik manusia apatis yang buta pada kemelaratan.
Lalu anak-anak, dipaksa menelan ampas kopi sepat kehidupan.
ilustrasi: novica.com