Wayangan

1,695 kali dibaca

Ketika masih anak-anak, masa-masa di Sekolah Dasar, saya salah satu yang tergolong “tung-ul” atau “nong-ol”. Maksudnya, di mana terdengar bunyi tunggg atau nonggg dari suara tetabuhan gong atau kenong, di situ saya pasti nongol atau muncul (mecungul).

Paribasan itu untuk menggambarkan suasana batin anak-anak di masa itu, termasuk saya, yang menggandrungi seni pertunjukan, termasuk pagelaran wayang kulit. Di masa saya sebagai kanak-kanak, di lingkungan desa saya, wayang kulit menjadi pertunjukan terfavorit bagi masyarakat yang punya hajatan, baik untuk acara khitanan maupun pernikahan. Jika seseorang mampu nanggap wayang kulit atau wayangan, acara hajatannya sudah tergolong wah. Berkelas.

Advertisements

Di situlah, di setiap acara wayangan, saya bersama beberapa kawan selalu muncul, nongol, mecungul. Entah siang ataupun malam. Sebab, saat itu, wayangan biasanya terdiri dari dua sesi, sesi siang dan sesi malam. Sesi siang biasanya berlangsung dari pagi hingga menjelang maghrib. Sedangkan, sesi malam dimulai bakda isya dan berakhir sehabis subuh.

Meskipun tak paham-paham amat terhadap cerita yang dinarasikan ki dalang, saya nyaris tak pernah absen menonton pertunjukan yang dimainkan sang dalang. Tapi yang lamat-lamat bisa saya tangkap dalam masa kakak-kanak itu, cerita-cerita yang terselip dari setiap lakon yang dibawakan ki dalang adalah ajaran-ajaran tentang kebaikan, ajaran-ajaran tentang pencarian hakikat hidup. Banyak pelajaran yang bisa dipetik darinya.

Saya sendiri lebih sering menonton di sesi malam, begadang semalaman, karena ada kewajiban sekolah sepanjang siang hari. Begitu gandrungnya saya akan pertunjukan wayang, giliran mau disunat, itulah persyaratan yang saya ajukan kepada orangtua: nanggap wayang!

Tentu saja syarat yang saya ajukan itu menyebabkan keluarga besar dirundung kehebohan. Ada yang setuju wayangan. Ada yang malah mengharamkannya. Begitu beragam pendapat di keluarga besar saya. Tapi kalau tak menggelar pertunjukan wayang, saya ogah disunat! Akhirnya orangtua mengalah, meskipun sebagian anggota keluarga besar tak setuju.

Salah satu yang tak setuju adalah Pakde saya, Ibnu Umar. Ia termasuk salah seorang kiai yang dikenal alim dan saat itu memimpin satu pondok pesantren. Pakde saya ini tergolong yang menghukumi pertunjukan wayang sebagai haram. Karena pendapatnya itu, ketika tiba hari khitanan saya, ia hanya datang sebentar untuk menyembelih kerbau di pekarangan belakang rumah. Setelah itu ia langsung pulang dan tak datang-datang lagi untuk sekadar menengok keponakannya yang sedang disunat. Lagi-lagi karena wayangan itu. Setelah wayangan selesai, barulah Pakde saya mengunjungi kami.

 

***

Saya teringat kembali peristiwa wayangan di khitanan itu setelah jagat maya Tanah Air beberapa hari belakangan dihebohkan pernyataan Ustaz Khalid Basalamah yang mengharamkan wayang kulit dan menyerukan agar wayang kulit dimusnahkan karena tidak sesuai dengan ajaran Islam —meskipun belakangan sang ustaz telah memberikan klarifikasi dan menyampaikan permintaan maaf kepada publik.

Saya kemudian membandingkan pernyataan Ustaz Khalid Basalamah dengan sikap Pakde saya itu. Dari sisi pendapat hukum, keduanya sama. Sikap yang membuat keduanya berbeda. Pakde saya tak setuju kami menggelar wayangan karena menurutnya hukumnya haram. Tapi ia juga tak hendak melarang-larang kami wayangan, membubarkannya, atau memusnahkannya. Meski berbeda pendapat, ia tetap menghargai dan menghormati bahwa itu telah menjadi bagian dari tradisi masyarakat.

Perdebatan soal halal-haramnya wayang kulit sebenarnya bukan perkara baru, dan rasanya akan terus menjadi bagian dari khilafiah. Yang membedakan adalah bagaimana seseorang harus bersikap. Sikap jugalah yang akan turut menentukan derajat keilmuan dan karakter seseorang.

Ketika para penyebar Islam di Nusantara, lebih khusus di Tanah Jawa, hendak mencoba berbagai metode dakwah, perbedaan pendapat soal halal-haramnya wayang kulit juga sudah muncul.

Adalah Sunan Kalijaga, yang hidup pada abad ke-15, salah satu penyebar Islam di Tanah Jawa, yang menginisiasi penggunaan media wayang untuk berdakwah. Ketika itu, ada Sunan Giri yang masih mengharamkan wayang lantaran terbuat dari gambar manusia di atas kertas. Sunan Kalijaga kemudian sedikit melakukan perubahan pada tampilan wayang yang telah ada. Kini dibuat dari kulit kambing dan, yang lebih penting, gambar karakter tokoh-tokohnya tak lagi berwujud manusia, melainkan diganti dengan sosok fiktif yang cenderung mirip karikatur dari antah berantah.

Dengan kreasinya itu, Sunan Kalijaga akhirnya mempunyai media dakwah yang efektif untuk menyebarkan ajaran-ajaran Islam terutama di Tanah Jawa. Hingga berabad-abad kemudian, wayang kulit hasil kreasi Sunan Kalijaga itulah yang terus hidup di tengah masyarakat sebagai bagian dari tradisi leluhur.

Tapi apa salahnya wayang kulit itu, sebagai media yang pernah berjasa pada pengislaman Nusantara, masih saja ada yang mengharam-haramkannya, dan bahkan ingin memusnahkannya karena dianggap sebagai tradisi yang tak islami?

 

***

Tapi jika melihatnya sebatas itu, sebatas perdebatan perkara halal-haram, sebatas islami-tak islami, percayalah kita akan kecele. Sebab, disadari atau tidak, gaduh yang dipantik oleh pernyataan Ustaz Khalid Basalamah itu dapat dibaca sebagai fenomena gunung es dari gerakan paham atau ideologi transnasional berbasis keagamaan untuk mengintrusi alam bawah sadar masyarakat Indonesia.

Sampai hari ini, kenapa Negara Kesatuan Republik Indonesa (NKRI), masih tetap utuh, ajek, jejek, sebagai sebuah negara kesatuan tak lain adalah karena masih kuatnya tradisi dan budaya masyarakat-masyarakat Nusantara.

Beragam isme atau ideologi telah datang dari berbagai negara yang dikampanyekan oleh berbagai golongan atau kelompok kepentingan. Yang paling kentara adalah isme-isme atau ideologi yang ingin mengganti dasar dan bentuk negara. Namun, semuanya mental dan belum ada yang pernah berhasil. Salah satunya karena tradisi dan budaya Nusantara masih kuat mengakar dalam kehidupan masyarakat.

Ini berbeda dengan kasus di sejumlah negara yang dirundung kekacauan, perpecahan, atau peperangan karena adanya intrusi paham atau ideologi dari luar. Jika kita cermati dengan teliti, negara-bangsa yang tergoda oleh paham atau ideologi transnasional hingga dirundung kekacauan, perpecahan, atau peperangan itu lantaran tradisi dan budayanya tak lagi kokoh dan mampu membendungnya.

Karena itulah, gerakan ideologi transnasionalisme itu, yang membonceng ekstremisme dan radikalisme misalnya, secara masif sedang berusaha merongrong tradisi dan budaya Nusantara. Sedang mencoba memutus ikatan masyarakat dengan tradisi dan budayanya.

Jika mengamati apa yang berseliweran di jagat maya, misalnya, kita akan banyak menemukan setiap pernik dari tradisi dan budaya Nusantara akan dibentur-benturkan dengan ke-islami-an. Bahkan, kita membungkuk kepada orangtua lalu mencium tangannya sebagai tanda hormat saja dibilang syirik. Bahkan, sesaji sebagai tanda penghormatan kepada alam saja ditendang-tendang. Bahkan, pun wayang kulit kreasi Sunan Kalijaga sebagai ikhtiar dakwah pun diharam-haramkan dan harus dimusnahkan.

Tapi begitulah cara mereka mengintrusikan paham atau ideologinya. Dan ketika siasat mereka berhasil, tradisi dan budaya kita menjadi lemah, ikatan masyarakat dengan tradisi dan budayanya menjadi renggang, saat itulah NKRI akan mudah goyah.

Sekali lagi, kuatnya akar tradisi dan budaya Nusantara inilah benteng terkuat untuk mengadang instrusi paham-paham atau ideologi transnasional. Maka, revitalisasi tradisi dan budaya masyarakat Nusantara harus tetap digelorakan, salah satunya dengan wayangan.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan