Warga Aljazair Kagumi Pancasila dan Akhlak Orang Indonesia

7,528 kali dibaca

Setelah dibuka oleh Duta Besar Indonesia untuk Aljazair Safira Machrusah, seminar dimulai dengan paparan dari Rektor Universitas Emir Abdulkadir (UEA) Dr Said Darroji. Dalam paparannya, Said menjelaskan bahwa Konferensi Asia Afrika (KAA) merupakan mementum penting bagi kemerdekaan Aljazair. Karena, di forum itu lahir resolusi untuk kemerdekaan Aljazair dan negara Afrika lainnya. Resolusi itu ditandatangani oleh sepuluh negara, di antaranya Indonesia, Irak, Palestina, India, dan sebagainya.

Dari resolusi itulah gerakan kemerdekaan Aljazair bergaung ke dunia internasional, bahkan sampe ke PBB. Menurut Said, jasa Presiden Soekarno dan bangsa Indonesia sangat besar bagi Aljazair, dan sejarah ini tak boleh dilupakan. Generasi muda harus tahu sejarah ini agar hubungan persahabatan Aljazair dan Indonesia tetap bisa dijaga dan dipertahankan.

Advertisements

Nara sumber berikutnya, Dr Ngatawi al-Zastrouw, dosen Pasca Sarjana UNUSIA Jakarta. Ia menjelaskan bahwa KAA yang dimotori Bung Karno merupakan manifestasi dari spirit untuk memperjuangkan kemerdekaan semua bangsa yang tertulis dalam Muqaddimah UUD 1945 yang menjadi dasar NKRI. Dalam upaya merealisasikan amanat tersebut, Soekarno menggunkan berbagai cara untuk membantu kemerdekaan beberapa negara di kawasan Asia Aftika, bahkan sampai Amerika Latin.

Dalam konteks kemerdekaan Aljazair, Zastrouw menyebutkan bahwa Soekarno tidak hanya membatu secara politis dan diplomatis di PBB dan forum internasional lainnya, tetapi juga membantu dalam perjuangan fisik. Di antaranya, Soekarno pernah menyelundupkan senjata untuk membantu para pejuang kememerdekaan Aljazair yang tergabung dalam Front National Pembebasan Aljazair (FNPA). Selain bantuan senjata, menurut Abdelhamid Mehri, salah seorang pejuang FNPA, Bung Karno juga mengirim pasukan TNI untuk nelatih para pejuang Aljazair.

Spirit KAA, menurut Zastrouw, bisa menjadi sumber inspirasi membangun solidaritas antarnegara berkembang dalam menghadapi berbagai problem dan tekanan global sebagai wujud dari kolonialisme modern. Hal itu sebagaimana pernah disampaikan Bung Karno dalam sambutannya di KAA.

Menanggapi paparan nara sumber, Prof Dr Abdullah Boukhelkhal menyampaikan bahwa kedekatan emosional rakyat Aljazair dan Indonesia tak bisa dimungkiri. Meski, tidak saling kenal namun hati mereka sudah tertaut. Ini dibuktikan ketika perjumpaan dua bangsa ini saat ibadah haji. Rakyat Aljazair selalu terkesan dengan akhlak mulia masyarakat Indonesia. Dari sini mereka bisa paham mengapa Soekarno bisa memiliki akhlak mulia dalam membela bangsa Aljazair secara ikhlas, karena Soekarno berasal dari masyarakat yang beraklak mulia.

“Saya pernah bertanya kepada jamaah Indonesia dari mana bangsa Indonesia belajar akhlak mulia? kata Abdullah. Orang Indonedia itu menjawab dari Islam yang diajarkan oleh para ulama. “Saya perlu pandangan elaboratif masalah ini dari nara sumber,” demikian Abdullah.

Tanggapan berikutnya datang dari Ustadz Dr Aziz Haddad. Dia menyatakan bahwa bangsa Indonesia terbangun atas tiga fondasi yang kokoh: bahasa (budaya), agama, dan sejarah. Ketiga fondasi ini mampu diintegrasikan secara kokoh dan mendalam. Bagaimana bangsa Indonesia bisa melakukan hal itu?

Seorang wartawati TV, Radia, menanggapi paparan Dubes Safira soal pentingnya mengajarkan sejarah pada kaum muda. Dia bertanya bagaimana cara efektif melakukan hal itu di tengah fenomena anak muda yang mulai tidak tertarik pada sejarah? Berikutnya dia bertanya soal bantuan senjata Bung Karno pada pejuang FNPA. Dia ingin mendalami data-data tersebut. Souad Kesra, seorang dosen UEA yang pernah belajar di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta menanggapi bahwa kerja sama Indonesia dan Aljazair perlu ditingkatkan dengan pertukaran mahasiswa, dosen, dan penelitian bersama.

Demikian beberapa tanggapan dari peserta seminar yang kemudian ditanggapi balik oleh nara sumber. Berbagai tanggapan inilah yang membuat diskusi menjadi semakin hangat dan menarik.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan