Urgensi Pergeseran Hari Libur Islam

604 kali dibaca

Beberapa waktu terakhir ini heboh di dunia maya, di laman pemberitaan, di media-media sosial, terkait dengan pergeseran Hari Libur Islam. Hal ini menjadi polemik hingga menimbulkan kegaduhan di masyarakat. Bahkan sampai terjadi tuduhan-tuduhan yang tidak semestinya, seperti akan terjadi negara sekuler di Indonesia. Tentu saja hal ini harus diluruskan, karena akan terjadi sebuah miskonsepsi yang semakin ruwet dan semrawut yang tidak berkesudahan.

Pergeseran hari libur, terutama hari libur Islam akan melahirkan kontra pemahaman. Di sisi lain, pergeseran ini akan menjadi bagian dari antisipasi Covid-19. Namun di balik itu semua, juga akan melahirkan polemik dan kegaduhan karena dianggap apatis dan hipokrit terhadap hari besar agama Islam. Maka sudah menjadi kewajiban bagi aparatur negara untuk memberikan informasi yang valid, akurat, dan tepat terkait dengan pergeseran hari besar Islam.

Advertisements

Selama ini penjelasan urgensi pergeseran hari libur (Hari Besar Islam) tidak ada informasi yang cukup. Artinya, sebagian (besar) masyarakat tidak memahami apa kebaikan di balik pergeseran di hari libur ini. Oleh karena itu maka timbullah kegaduhan dan polemik yang terus bergulir di tengah-tengah masyarakat. Apalagi jika kemudian ditunggangi (politics movement) oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab.

Antisipasi Virus

Pandemi Covid-19 hingga detik ini masih menjadi problem di tengah-tengah kehidupan. Hari Rabu, 20 Oktober 2021, di Metro TV, dijelaskan melalui data valid dari sumber yang dapat dipercaya terkait dengan kepentingan melakukan pergeseran hari libur. Dari data-data yang ada, ternyata pergeseran hari libur dapat mengantisipasi terjadinya lonjakan kasus terpaparnya Covid-19. Hal inilah yang kemudian menjadi dasar, mengapa hari libur diadakan pergeseran. Karena realitas data yang ada, menggeser hari libur dapat meminimalisasiterjadinya sebaran Covid-19.

Pada saat hari libur tidak diadakan pergeseran, akan terjadi penumpukan massa yang cukup masif dan tidak terkendali. Hal ini yang kemudian menjadi pemicu terjadinya sebaran virus yang sangat besar. Kemudian, saat tidak ada pergeseran hari libur, semua instansi (pendidikan) baik yang di lingkungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan maupun Kementerian Agama, negeri dan swasta, akan meliburkan lembaganya. Hal inilah yang kemudian menjadikan terjadinya penumpukan kegiatan, utamanya berwisata. Akan tetapi, dengan cara digeser terjadi perbedaan kebijakan libur dan tidak terjadi penumpukan massa yang tidak kita inginkan.

Oleh karena itu, menggeser hari libur merupakan upaya untuk meminimalisasi sebaran Covid-19. Sebagai sebuah usaha, dari berbagai ragam usaha yang dicanangkan, menggeser hari libur termasuk salah satu di antaranya. Tentu saja tidak semua pihak menerima kebijakan ini. Apapun alasannya, bagi mereka yang memiliki kontra kebijakan, apalagi jika diselubungi dengan agenda politis, maka menggeser hari libur merupakan sebuah kesalahan atau kekeliruan.

Kebijakan yang Bijak

Menerapkan sebuah kebijakan harus dipikirkan segala aspek yang akan timbul. Sebab setiap kebijakan akan selalu berhadapan dengan orang banyak (baca: rakyat). Mereka yang akan merasakan dampak paling dominan pada setiap kebijakan yang diterapkan. Oleh sebab itu membuat kebijakan harus memenuhi unsur kebajikan yang paling bijak.

Ketika menerapkan kebajikan hari libur (Islam) saja, maka kebijakan ini berafiliasi pada kontra kebaikan. Sebab hari libur bukan saja terbatas pada hari libur Islam. Kesannya, hanya ketika terjadi hari libur Islam kemudian pemerintah melakukan pergeseran hari libur. Dua hari libur Islam yang terakhir (Tahun Baru Islam dan Maulid Nabi) terjadi pergeseran hari libur dan menimbulkan polemik dan kegaduhan. Semestinya, jika pergeseran hari libur sebagai upaya antisipasi Covid-19, maka setiap hari libur harus digeser tanpa terjadi pilah dan pilih.

Penggeseran hari libur yang hanya terjadi pada hari libur Islam menjadi pemicu munculnya berbagai unjuk rasa. Tidak sedikit orang-orang muslim yang kemudian merasa dipinggirkan atau dimarjinalkan. Bentuk diskriminatif merupakan tindakan kriminal(?) yang seharusnya tidak terjadi di negara dengan paham demokrasi ini. Kebijakan yang seimbang, aturan yang tidak pandang bulu, serta nilai-nilai keadilan yang seharusnya dikedepankan.

Harmonisasi Kebijakan

Setiap kebijakan dan aturan yang diterapkan dalam kehidupan adalah bertujuan untuk harmonisasi hubungan. Karena setiap kebijakan yang diberlakukan harus berpihak kepada rakyat banyak. Sebab yang berkoneksi dengan sebuah kebijakan secara langsung adalah rakyat. Jadi, setiap aturan yang dibuat oleh yang berwenang harus berpihak kepada rakyat.

Pergeseran hari libur adalah salah satu kebijakan yang dibuat oleh pemerintah. Apapun alasan yang dikemukakan, kebijakan ini telah melahirkan polemik dan kegaduhan. Karena tidak ada informasi yang masif kepada public terkait dasar kebijakan yang dilakukan. Maka kemudian menjadi tanggung jawab pemerintah jika timbul gejolak-gejolak yang tidak kita inginkan.

Lebih jauh, aturan dan kebijakan pergeseran hari libur tidak terlalu urgen. Mungkin saja dalam sebuah penelitian didapat data yang baik terkait dengan kasus merebaknya Covid-19. Akan tetapi nilai kebaikan itu tidak seimbang dengan gejolak masyarakat yang justru melahirkan kegaduhan. Oleh karena itu sebaiknya pemerintah mencari cara lain (dalam penanganan Covid-19) yang sekiranya tidak menimbulkan gejolak, kegaduhan, dan polemik yang berkepanjangan.

Rupanya kaidah fikih ini masih selaras, bahwa “Almuhafadhatu alal qadimis shalih, wal akhdzu ala jadidil ashlah, bahwasanya menolak kemudharatan (polemik, kegaduhan, dan gejolak) lebih diutamakan daripada menciptakan kebaikan yang tidak dapat dipastikan.” Intinya, diperlukan informasi yang cukup kepada masyarakat terkait dengan pergeseran hari libur agar masyarakat sadar sekaligus menyadari bahwa pergeseran hari libur (Islam) itu tidak terkait dengan sekularisme dan lain sebagainya. Wallahu A’lam! 

Multi-Page

Tinggalkan Balasan